BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak dahulu
hingga sekarang, Pembahasan mengenai Tasawuf masih belum dapat dituntaskan
karena berbagai macam pandangan dari bebagai pihak. Namun perkembangan tasawuf
dari abad ke-abad tumbuh seiring
berkembangnya pula islam itu sendiri yang ajarannya dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw dengan berdasar kepada Al-Qur’an dan Hadis rasulullah Saw.
Setelah
memperhatikan permulaan tumbuhnya, jelaslah bahwa -ilmu tasawuf tumbuh sendiri
lantaran pengaruh membaca ayat-ayat suci Al-qur’an, Memahami maksudnya, membaca
hadist, mencontoh kehidupan Nabi dan para sahabatnya, Serta pengaruh
tuntunan agama islam pada umumnya. Tetapi pada awal pertumbuhannya sampai akhir
abad kedua hijriah, belum menjadi suatu ilmu yang tersusun dengan beberapa
syarat dan tata cara tertentu.
Jadi, tumbuhnya
ilmu tasawuf adalah disebabkan karena orang senantiasa kekeal mengerjakan amal
ibadah, mendekatkan hati mereka kepada Allah, dan berpaling dari kemegahan
dunia, tidak menaruh perhatian terhadap dunia. Mereka zuhud dari dunia
meninggalkan apa yang tidak berguna sekalipun halal dan baik menghindarkan diri
dari kesenangan duniawi dan kemewahan-kemewahan lainnya.
Namun dari satu
sisi, ada juga dari beberapa pihak yang sengaja mengaburan dan dengan cara
terang-terangan menentang ilmu tasawuf degan tujuan ingin membasminya.
Bahakan mereka
menuduh, bahwa kaum sufi sebagai ahli bid’ah, ahli tahayyul, dan hurafat atau
orang yang sesat disamping mereka tidak segan-segan menghinanya. Dari itulah, makalah
ini kami buat agar yang memebacanya dapat memahami dan setelah dibaca maka akan
ada perubahan yang dirasakan seperti ketenangan batin,jiwa dan sekaligus
menyucikan diri dari sifat-sifat tercela, Sehingga dengan demikian bersihlah jiwa
dalam mengbdikan diri kepada Allah Swt.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, maka yang dapat kami angkat sebagai rumusan
masalah dalam makalah kami ini adalah seperti berikut:
1.
Apa
pengertian Tasawwuf secara lugawi dan istilah ?
2.
Bagaimana
proses Ahwal dan Maqamat dalam tasawuf ?
3.
Siapa
saja tokoh sufi dalam bidang tasawuf dan pokok ajarannya ?
C.
Tujuan Penulisan
Makalah ini kami buat untuk
mengetahui Pngertian tasawuf secara lugawi dan istilah, Ahwal dan maqamat dam
tasawuf, tokoh – tokoh sufi besar dan ajaran pokonya.
Setelah pembahsan tersebut diketahui
maka dapat dipilah dan diterapkan dalam kehidupan kita agar mampu kita
realisasikan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt sedekat mungkin.
D.
Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam
makalah kami ini adalah bersumber dari berbagai buku bacaan yang terkait dengan
maaslah tasawuf. Dan beberapa referensi lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tasawuf
1. Secara
Etimologis
Menurut bahasa tasawuf berasal
dari kata shuf صاف - يصؤف – صؤفا Artinya mempuyai bulu yang banyak, Dalam kaidah bahasa arab berati (menjadi) berbulu
yang banyak, dengan arti sebenarnya adalah menjadi sufi yang ciri khas
pakaiannya selalu terbuat dari bulu domba(Wol).[1]
Akan tetapi, arti tasawuf secara
lughawi (etimologis) itu diperselisihkan oleh para ahli. Hal ini diakibatkan
oleh perbedaan mereka dalam memandang asal – usul kata itu, Adapun asal – usul
kata tasawuf adalah sebagai berikut:
1. Tasawuf berasal dari kata shuf,
yang berarti wol kasar karena orang sufi selalu memakai pakaian tersebut
sebagai lambang kesederhanaan. Hal ini merupakan reaksi terhadap kehidupan
mewah yang dinikmati oleh para penguasa, baik penguasa bani umayyah maupun bani
abbasiyah.[2]
2. Tasawuf berasal dari akar kata shafa,
yang artinya bersih. Di sebut sufi karena hatinya tulus dan bersih dihadapan
tuhannya. Dan memang tujuan sufi melakukan hal tersebut karena ingin
membersihkan batin melalui latihan – latihan yang lama dan ketat.[3]
3. Tasawuf berasal dari istilah yang
dikonotasikan dengan Ahl As-Shuffah, yaitu orang-orang yang tinggal di
suatu kamar di samping masjid Nabi di madinah. Mereka tidur di atas batu dengan
pelana sebagai bantal. Makan dan minum mereka ditanggung oleh pemerintah atau
orang-orang kaya di kota madinah. Walaupun miskin, Mereka adalah pejuang fi
sabillillah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.[4]
4. Tasawuf berasal dari kata ‘shopos’,
yang berasal dari yunani dan memiliki arti ‘Hikmah’. Kalau diperhatikan
sekilas, memang ada hubungan antara orang sufi dangan hikmah, karena
orang shufi membahas masalah yang mereka persoalkan berdasarkan pembahasan yang
falsafi.[5]
5. Tasawuf berasal dari kata ‘
shaf’. Dinisbatkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di
shaf yang paling depan. Alasannya bahwa orang yang berada di shaf terdepan maka
dia akan mendapatkan kemuliaan dan pahala dari Allah Swt.[6]
6. Tasawuf berkaitan dengan kata Asshifath’
karena para sufi sangat mementingkan sifat – sifat t[7]erpuji dan berusaha keras
meninggalkan sifat – sifat tercela.
7. Tasawuf berasal dari kata ‘ shaufana’,
yaitu sebangsa buah – buahan kecil yang
berbulu – bulu dan banyak tumbuh dipadang pasir
di tanah Arab.
Dari berbagai uraian diatas nampaknya yang banyak
disepakati dan diakui kedekatannya dengan makna tasawuf yang dipahami sekarang adalah term yang
pertama , yakni ‘Shuf’ (Wol).
2. Secara
Istilah
Secara istilah, baik menurut
kalangan sufi (pengamal Ajaran Tasawuf) maupun para pengamat, istilah tasawuf
ini memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman spiritual dan
pengmatan masing-masing.
Menurut Iberahim Basyuni, Seperti
yang dikutip oleh M.syatoiri,[8] walaupun bermacam-macam, definisi
tersebut bisa dikelompokkan kedalam tiga kelompok, yakni :
1. Definisi
yang terjadi karena dasar
Manusia dengan fitrahnya tidak
akan menguasai seluruh hakikat.hal tersebut karena dibalik hakikat masih ada
hakikat yang paling agung dan dapat menguasai seluruh hakikat. Dengan
fitrahnya, manusia berusaha untuk mendekati-Nya, menyerupai-Nya, dan bersatu
dengannya. Oleh karena itu, banyak orang sufi yang memberikan definisi tasawuf
sesuai dengan fitrahnya diantaranya sebagai berikut.
a. Abu Husain An-Nuri (w. 272 H )
Sufiah adalah kelompok kaum yang memiliki
hati bersih dari segala keburukan yang dibuat manusia dan bersih dari penyakit
batin serta bebas dari segala bentuk syahwat sehingga mereka berada dibarisan
terdepan atau yang paling pertama dan mendapat derajat yang tinggi serta
kebenaran. Ketika mereka meninggalkan apa-apa selain Allah, Jadilah mereka
orang-orang yang tidak memiliki dan dimiliki.
b. Al-junaidi (w. 296 H )
Tasawuf adalah menyucikan hati sehingga tidak
ditimpa suatu kelemahan, menjauhi alamiah,melenyapkan sifat kemanusiaan, dan
menjauhi segala keinginan dan nafsu.
c. Dzun Al-Mishri ( w. 245 H )
Sufi adalah seorang yang tidak menyusahkan
dirinya dari segala permintaanya, juga tidak menyusahkan dirinya dari
ketiadaan.
2. Definisi
dari segi kesungguhan
Definisi tasawuf secara jahidah
mulai mengadakan pendekatan secara alamiah dengan cara memeperindah diri
melalui pengamalan agama dan Fadhilah-fadhilahnya.
Atas
dasar amaliah ini banyak yang memberikan ta’rif tasawuf, diantaranya sebagai
berikut:
a. Al-Kanani
Tasawuf adalah akhlak, maka barang siapa yang
bertambah baik akhlaknya, maka bertamabah pula kesuciannya.
b. An-Nuri
Tasawuf bukanlah lukisan atu ilmu, akan
tetapi merupakan akhlak. Bila merupakan lukisan, tasawuf akan dapat dicapai
dengan dasar kesungguhan, Bila merupakan ilmu tasawuf akan dapat dicapai dengan
belajar. Akan tetapi asawuf hanya akan dapat dicapai melalui akhlak , yaitu
akhlak Allah. Pada diri seseorang tidak akan dapat diterima akhlak yang
bersifat ketuhanan bila melalui lukisan dan ilmu.
c. Sahal bin Abdillah
Tasawuf adala menyedikitkan makan,
sungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Swt. Dan lari dari manusia.
3. Definisi
dari segi perasaan
Tasawuf dari segi ini, yaitu orang
yang sudah memasuki dunia sufi harus mampu menggerakkan jiwa pada
kegiatan-kegiatan tertentu untuk mendapatkan suatu perasaan yang berhubungan
dengan wujud tuhan yang mutlak atau kehidupan rohani yang berusaha mendekatkan
diri kepada tuhan dengan berbagai cara, seperti memperbanyak amalan shaleh yang
wajib maupun yang sunnah.
Dari uraian beberapa pengertian
diatas, Maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa tasawuf adalah pembersihan
diri. Dengan kata lain, tasawuf merupakan suatu perpindahan kehidupan, yaitu
dari kehidupan kebendaan kepada kehidupan kerohanian.[9]
Karena sulitnya memberikan definisi
lengkap tentang tasawuf, sehingga menurut Abu Al-Wafa’ Al-Ganimi At-Taftazani
(peneliti tasawuf) mengatakan bahwa secara umum, taswuf mempunyai lima ciri
yakni sebagai berikut:
1. Adanya moral;
2. Pemenuhan Fana (sirna) dalam
realitas mutlak;
3. Pengetahuan intuitif langsung;
4. Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai
karunia Allah dalam diri seorang sufi karena tercapainya maqam-maqam atau
beberapa tingkatan;
5. Penggunaan simbol-simbol
pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.[10]
Tasawuf bertujuan memperoleh suatu
hubungan khusus dengan tuhan yakni mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa
manusia sedang berad dikhadirat tuhan. Kesadaran tersebut akan mrnuju kontak
komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan tuhan. Hal ini melalui dengan
cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan
tuhan akan membentuk ittihad (bersatu) dengan tuhan. Hal ini menjadi inti
persoalan ‘sufisme’, baik pada agama islam maupun luar islam.
Dengan pemikiran diatas, dapat
dipahami bahwa tasawuf adalah ilmu yang mempelajari suatu cara agar seseorang
dapat dengan mudah berada dikhadirat Allah Swt. Gerakan ‘kejiwaan’ penuh
dirasakan untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh suatu hakikat kontak hubungan
yang mampu menelaah informasi dari tuhannya.
Para sufi ini muncul pertama kali
di kufah tokoh sufi yang terkenal diantaranya Sufyan Ats-Tsauri (w. 135 H), Abu
Hasyim ( w. 150 H), Jabir bin Hayyan (w. 190 H ) dan basrah tokoh sufi yang
bercorak ekstrim terkenal diantaranya Hasan Al-Basri( w. 110 H ),serta Rabiah
Al-Adawiyah(w.183 H)[11]
B. Ahwal dan Maqmat dalam tasawuf
a). Maqam Tasawuf
Jalan
yang harus ditempuh oleh sorang sufi untuk sampai kepada kehadirat Tuhan-Nya
apakah itu dengan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan bersatu dengan
tuhan-Nya, merupakan salah satu proses yang sangat panjang dan penuh rintangan.
Oleh sebab itulah, hanya sedikit orang yang mampu untuk mencapai puncak dari
tujuan tasawuf itu sendiri. Dan bahkan tidak sedikit seorang sufi yang
sampai-sampai jatuh ketika dalam tahapan berjalan pada puncaknya.[12]
Jalan,
yang intinya penyucian diri itu, oleh kaum sufi dibagi kedalam stasiun-stasiun
yang biasa dengan Maqamat. Ath-thusi, Maqamat adalah kedudukan seorang
hamba dalam perjalanaannya menuju kehadirat tuhan-Nya melalui ibadah,
kesungguhan melawan rintagan (Al-mujahadat), dan latihan-latihan
rohaniah (Ar-riyadhah ).[13]
Dikalangan
para kaum sufi, urutan Maqam-maqam ini berbeda-beda. Sebagian mereka
merumuskan Maqam-maqam dengan sederhana , seperti rangkaian maqam qana’ah
berikut ini: Tanpa qana’ah, tawakkal tidak akan tercapai. Tanpa tawakkal, taslim
tidak akan ada,sebagaimana tanpa tobat,inabah tidak akan ada,tanpa wara’
zuhud tidak akan ada.
Terdapat
perbedaan jumlah dan sistematika maqamat antara ulama satu dengan ulama
lainnya. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan pengalaman rohaniah
masing-masing ulama sufi. Sayyid Hosein Nashr menganalogikan perjalanan sufi
itu sperti halnya dengan mendaki gunung. Awal dan akhirnya diketahui,tetapi
jumlah dan perincian yang sesungguhnyadari tiap langkah yang harus diambil
serta ciri-ciri utama jalan yang ditempuh adalah sama,yaitu tuhan.[14]
Adapun sistematika Maqamat
dalam kitab tasawuf adalah sebagi berikut:
1. Tobat
Maqamat pada awalnya diawali dengan
tobat yang sebenar-benarnya tobat yang dilakukan oleh seorang sufi dan tidak
membawa pada dosa lagi. Terkadang tobat tidak dapat dicapai hanya dengan sekali
saja akan tetapi tobatnya seorang sufi itu dapat dicapai kalau sudah mencapai
70 kali taubat sehari semalam atau bahkan lebih seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah Saw.[15]
Kebanyakan sufi menjadikan tobat
sebagai perhentian awal dijalan menuju Allah. Pada tingkat terendah, tobat
menyangkut dosa yang dilakuan oleh jasad atau anggota badan. Pada tingkat
menengah, disamping menyangkut dosa yang dilakukan oleh jasad, tobat menyangkut
pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki,sombong dan riya. Pada tingkat yang
lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan meyadarkan
jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir , tobat berarti penyesalan atas
kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkat ini adalah
penolakan terhadap segala sesuatu, selain yang dapat memalingkan dari jalan
Allah.[16]
2. Zuhud
Pada maqam kedua ini, Seorang
sufi meninggalkan dunia kematerian. Kebersihan dari dosa tidak cukup dengan
hanya bertobat, akan tetapi juga harus diberangi dengan meninggalkan dunia
materi dan kebutuhan jasmani. Setelah bersih dari dosa, seorang sahid mulai
melihat tuhan bukan sebagai tuhan yang ditakutisiksa-Nya, akan tetapi sebagai
tuhan tempat mencari ketentrman jiwa.[17]
Dilihat dari maksudnya, Zuhud
terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama(terendah), menjauhkan diri dari dunia
ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan cara
menimbang imbalan diakhirat. Ketiga(tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena
takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah semata. Orang yang berda
pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatunya tidak mempunyai arti
apa-apa kecuali Allah.[18]
3. Sabar
Sabar bukan hanya berarti patuh
dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya,
ttapi sabar juga dalam artian menerima
segala cobaan yang ditimpakan Tuhan kepadanya.[19]
Sabar, jika dipandang sebagai
pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan oleh Al-Ghazali sebagai
kesabaran jiwa, sedangkan menahan terhadap penyakitfisik tersebut sebagai sabar
badani. Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya untuk
menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[20]
4. Tawakkal
Pada maqam ini, seorang
sufi mestinya tawakkal (menyerahkan) diri sepenuhnya pada kehendak Allah.
Menurut Ath-Thusi, Tawakkal terbagi kedalam tiga tingkatan, yaitu tawakkal
orang-orang yang beriman, Tawakkal ahl al-khusus, dan tawakkal khusus
al-khusus. Tawakkal umumnya orang-orang yang beriman tiada lain adalah
menggunakan badan dalam beribadah, hati terpatut semata-mata kepada Allah Swt.
Dan jiwa tentram dengan apa yang ada. Jika diberi, maka ia bersyukur dan jika
dikenai musibah maka ia bersikap sabar dalam menghadapinya serta rela dengan
apa yang menjadi ketentuan Allah Swt.[21]
Tawakkal merupakan gambaran keteguhan
hati seseorang dalam meggantungkan diri hanya kepada Allah Swt.[22]Al-Ghazali
mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat
berfungsi sebagai landasan tawakkal.
5. Rela
( Rida )
At-thusi menjelaskan bahwa rida
Allah dalam pintu gerbang mendekat kepada Allah. Dalam makam ini, hati seorang
hamba begitu tentram dalam penyerahan diri kepda ketentuan Allah.[23]Ketika
Al-junaid ditanya tentang rida, ia menjawab rida adalah menghapuskan pilihan.
Adapun Dzun Nun Al-Mishri menjelaskan bahwa rida adalah kegembiraan hati
menerima ketentuan Allah yang meskipun it pahit.
Menurut Abdul Halim Mahmud, rida
mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah
dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan
akibatnya dengan cara apapun yang disukai oleh Allah Swt.
Orang yang rida mampu melihat
hikmah dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap
ketentuan-Nya. Bahkan ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha
sempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan
tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanya para ahli ma’rifat dan
mahabbah yang mampu besikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan
ujian sebagai suatu nikmat lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.[24]
6. Mahabbah
Maqam keenam yang dilalui oleh para
kaum sufi adalah mahabbah. Adapun pengertian dari mahabbah itu antara
lain: (a)Mencintai kepatuhan kepada tuhan dan membenci sikap
melawan-Nya;(b)Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi(Tuhan);dan
(c)Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.[25]
Selanjutnya, Ath-Thusi menjelaskan
bahwa dalam tingkatan mahabbah, seorang hamba dengan matanya memandang
nikmat segala yang telah dilimpahkan Allah kepadanya, dan dengan qalbunya
memandang suasana dekat dengan Allah, maka jath cintalah sang hamba kepada-Nya.[26]
Lebih jauh lagi, Ath-Thusi membagi
mahabbah menjadi tiga tingkatan, yaitu: Pertama, Mahabbah bisa
muncul karena kebaikan Allah kepada seorang hambanya. Cinta atau mahabbah ini
diperoleh seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan sang kekasih
seiring dengan mengingat asma-Nya secara terus menerus. Sebab, siapa yang
mencintai sesuatu, ia sering menyebutnya.
Kedua, mahabbah shadiqin, yaitu membersit
karena pengenalan yang mendalam atas kebesaran Allah. Cinta yang bersemi karena
mata hatinya memandang kebesaran,ilmu,dan kekuasaan Allah. Cinta yang dapat
mengungkap tabir yang memisahkan dirinya dengan tuhan dan mampu menguak rahasia
Tuhan yang tersembunyi.
Ketiga, Mahabbah ‘arifin, yakni cinta
hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya dengan baik. Dalam cinta yang seperti ini,
yang dilihat bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai. Akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[27]
Sufi yang termasyhur dengan
pengalaman spritual mahabbah ini adalah seorang wanita bernama Rabi’ah
Al-Adawiyah (713-801). Yang karena cintanya yang sangat mendalam kepada Tuhan
sehingga memalingkan dirinya dari cinta kepada yang lain. Kerinduannya kepada
sang kekasih begitu mendala. Dan sampai-sampai ia sangat khwatir
kalau-kalaucintanya kepada Allah bertepuk sebelah tangan atau tidak
terbalasakan.
7. Makrifat
Setelah melalui mahabbah,
Perjalanan spritual seorang sufi telah sampai kepada maqam makrifat. Akan
tetapi menurut Al-Ghazali, makrifat datang terlebih dahulu kemudian mahabbah,
Sebaliknya Al-Kalabi mengatakan bahwa makrifat datang sesudah mahabbah. Adapula
yangberpendapat bahwa makrifat dan mahabbah adalah kembar dua yang senantiasa
selalu disebutkan bersama. Mahabbah menggambarkan hubungan hamba dengan Tuhan
dalam bentuk cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dalam bentuk
pengetahuan dan sanubari.[28]
Seorang
sufi yang telah sampai kepada tingkat makrifat dapat melihat tuhan dengan mata hati
sanubarinya. Dengan sampainya ia kepada tingkat ini, ia telah berada dekat
dengan tuhan. Semakin tinggi tingkatannya dalam makrifat, maka semakin dekat
pula ia dengan tuhan sehingga ia mampu bersatu dengan tuhan yang biasa disebut
dengan Ittihad (Penyatuan).[29]
Akan
tetapi, sebelum seorang sufi sampai kepada tingkat Ittihad, Terlebih dahulu ia
harus meleburkan dirinya. Selama ia belum dapat meleburkan dirinya, yaitu ia
masih sadar akan dirinya, maka akan
sulit bagi dirinya untuk mencapai dan bersatu dengan Tuhan. Pelebeuran ini
dalam tasawuf disebut fana’, dan senantiasa diisingi oleh
baqa’(menetap).Sesuatu dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatunya
lagi akan baqa’ atau tinggal. Yang akan hancur dalam diri seorang sufi adalah
kesadaran tentang dirinya(al-fana’ an-nafs), sedangkan yang akan tinggal atau
muncul dalam diri seorang sufi adalah kesadaran sufi tentang diri Tuhan.[30]
Sufi
yang pertama kali memperkenalkan paham fana’ dan baqa’ adalah Abu
Yazid Al-Butsami (w. 874 M). Dengan fana’ Abu Yazid meninggalkan dirinya dan
berada dekat dengan Tuhan. Ketika sampai keambang pintu Ittihad, dari
mulutnya keluar ungkapan syatahat (ucapan teopatis)sebagai berikut:” Aku
heran terhadap cintaku kepada-Mu karena aku hanyalah hambamu yang hina, Tetapi aku
heran terhadap cinta-Mu kepadaku karena Engkau adalah Raja Mahakuasa”.[31]
Akhirnya
Abu Yazid Al-Butsami sampai kepada Ittihad, sebagaimana dalam
ucapannya,”Tuhan berkata,’mereka semua, kecuali engkau adalah aku’. Akupun
berkata,’ aku adalah Engaungkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”[32]
Abu
Yazid mengucapkan kata” Aku” bukan lagi sebagai gambaran dari diri Abu Yazid,
melainkan sebagai gambaran Tuhan karena ia telah bersatu dengan diri Tuhan.
Akan
tetapi, pengalaman spiritualbersatu dengan Tuhan bukan hanya dengan Ittihad, seperti yang
dialami oleh Abu Yazid, melainkan adapula pengalaman spiritual lain seperti al-hulul
yang dialami oleh Al-Hallaj, ataukah wahdat al-wujud yang dialami oleh Ibn
Arabi.[33]
b). Ahwal yang dijumpai dalam perjalanan para
sufi
Sebagaimana telah disebutkan
diatas, bahwa ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara
lain:
1. Muraqabah
Mengenai Muraqabah ini, Nabi Saw. Bersabda”
Beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau meliha-Nya, dan jika kau tidak
melihat-Nya maka yakinlah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.”(H.R. Muslim).
Adapun yang dimaksud dengan muraqabah
bagi seorang hamba adalah pengetahuan
dan keyakinan bahwa Allah Swt. Selalu melihat apa ada didalam hati nuraninyadn
maha mengetahui. Dalam kondisi yang demikian, ia terus meneliti dan mengoreksi
bersitan-bersitan hati atau pikiran-pikiran tercela yang hanya akan menyibukkan
hati seorang hamba sehingga lupa untuk mengingat Tuhannya.[34]
Orang-orang yang muraqabah dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan yakni: Pertama, Orang yang
selalu menjaga hatinya, sebab Allah Swt. Selalu melihat hati nurani seorang hamba-Nya. Tingkatan ini disebut
tingkatan kondisi spiritual para pemula dalam muraqabah.
Kedua, Orang-orang yang selalu
muraqabah kepada Al-Haq dalam kefanaan apapun yang selain Al-Haq dan mengikuti
sang nabi pilihan Saw. Dalam segala perbuatan, akhlak, dan adap beliau.[35]
Ketiga, tingkatan orang-orang besar.
Mereka selalu muraqabah kepada Allah Swt. Dan memohon ampun kepada-Nyaagar Dia senantiasa memelihara mereka
untuk selalu bisa ber-muraqabah[36]
2. Qurbah
(kedekatan)
Kondisi spiritual qurbah
(kedekatan) bagi seorang hamba adalah menyaksikan dengan mata hatinya akan
kedekatan Allah Swt. Dengannya sehingga ia akan melakukan pendekatan diri
kepada-Nya dengan seluruh ketaatan dan perhatiannya yang sealu terpusatkan di
hadapan Allah dengan selalu mengingat-Nya dalam segala kondisi, baik secara
lahiriah maupun secara batiniah rahasia hati.[37]
3. Mahabbah
( Cinta)
Kondisi spiritual (hal)
Mahabbah bagi seorang hamba adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat
yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan
Allah dengannya, segala perlindungan, penjagaan, perhatian, yang dilimpahkan
kepadanya. Dengan keimanan dan hakikat keyakinannya, ia melihat perlindungan (inayah),
petunjuk (inayah), dan cintanya tercurahkan kepadanya, yang seluruhnya
sudah ditetapkan sejak zaman azali. Oleh karena itu, ia mencintai Allah Azza wa
jalla.[38]
Orang yang dapat memiliki kondisi
spiritual mahabbah dibedakan menjadi tiga tingkatan yakni: Pertama,
Mahabbah bisa muncul karena kebaikan Allah kepada seorang hambanya. Cinta atau
mahabbah ini diperoleh seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan sang
kekasih seiring dengan mengingat asma-Nya secara terus menerus. Sebab, siapa
yang mencintai sesuatu, ia sering menyebutnya.
Kedua, mahabbah shadiqin, yaitu
membersit karena pengenalan yang mendalam atas kebesaran Allah. Cinta yang
bersemi karena mata hatinya memandang kebesaran,ilmu,dan kekuasaan Allah. Cinta
yang dapat mengungkap tabir yang memisahkan dirinya dengan tuhan dan mampu
menguak rahasia Tuhan yang tersembunyi. Kondisi spiritual yang seperti ini
adalah cintanya orang-orang yang jujur (Ash-shadiqin)
Ketiga, Mahabbah ‘arifin, yakni cinta
hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya dengan baik. Dalam cinta yang seperti ini,
yang dilihat bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai. Akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[39]
4. Berharap
dan Takut (Raja’ dan Khauf’)
Bagi khalangan kaum sufi, Raja’
dan Khauf berjalan seimbang saling beriringan dan saling mempengaruhi.
Raja’ berarti berharap atau Optimisme , yakni perasaan senang karena menanti
sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Karena Allah menegaskan dalam Al-Qur’an
bahwa” Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, yang hijrh dan berjihad dijalan Allah, maka mereka itulah orang –
orang yang mengharap rahmat Allah, dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
(Q.S. Al-Baqarah [2] : 218)
Orang
yang harapan dan penantiannya menjadikannya berbuat ketaatan dan mencegahnya
dari maksiat, berarti harapannya tersebut benar. Sebaliknya jika hanya
angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, maka
harapannya itu adalah sia-sia.[40]
Raja’
menuntut tiga perkara yakni:
1. Cinta kepada apa yang
diharapkannya.
2. Takut harapannya itu hilang.
3. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak diberangi tiga
perkara diatas, maka ia hanyalah termasuk ilusi atau khayalan. Setiap orang
yang berharap adalah orang yang takut(Khauf). Orang yang bercita-cita untuk
sampai kepada suatu tempat tepat pada waktunya, tentunya ia takut terlambat
sehingga ia mempercepat jalan atau laju kendaraannya. Begitupula dengan orang
yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan
siksaan Tuhan.
Berkaitan dengan hal tersebut,
Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk
menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya, mereka
dapat dekat kepada Allah. Khauf merupakan kesakitan hati karena membayangkan
sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa dirinya dimasa yang akan datang
(Akhirat) sehingga khauf dapat mencegah hamaba dalam berbuat maksiat dan
mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan Raja’ saling
berhubungan . Kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani
berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menyebabkan putus asa dan
pesimis.[41]Begitu
juga sebaliknya, sikap Raja yang sangat berlebihan akan membuat seseorang
sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena rasa optimismenya yang sangat
berlebihan.
5. Syauq
(Kerinduan)
Selama masih ada cinta, Syauq
tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur yakni rindu
ingin segera bertemu dengan tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti
cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya daripada maut. Bagi kaum
sufi yang rindu kepada Tuhan, mati berarti dapat bertemu dengan Tuhan,
sedangkan hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan ma’budnya.[42]
6. Uns
(Suka Cita)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat
Uns (Intim) adalah salah satu sifat yang merasa selalu berteman, tidak pernah
merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat Uns, “Ada yang merasa sepi
dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikiran kekasihnya sebab sedang
dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula yang merasa
bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau mrencanakan tugas
pekerjaannya semata-mata. Adpun engkau, selalu merasa berteman dimanapun engkau
berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu
berada pemeliharaan Allah. [43]
7. Thuma’ninah
(Ketenangan)
Yakni merasa tentram setelah
bersama dengan Tuhan-Nya, kemudian merasakan ketergantungan terus-menerus
dengn-Nya.[44]
8. Musyahadah
(Kehadiran hati)
Musyahadah adalah kehadiran yang
berarti kedekatan yang diberangi dengan ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya.[45]
9. Yaqin
(Keyakinan Sejati)
Keyakinan sejati ini tidak lain
adalah Mukasyafah (Tersingkapnya apa yang ghaib) . Mukasyafah dapat
dibedakan menjadi tiga macam.
a. Mukasyafah
Ayan (Tersingkapnya tutup mata),
sehingga pada hari kiamat nanti ia akan melihat dengan mata kepalanya.
b. Muqasyafatul
Qulub
(Tersingkapnya tutup hati), untuk memahami hakikat-hakikat keimanan secara
langsung dengan yakin yang tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan tidak
bisa ditentukan.
c. Mukasyaful
ayat (Tersingkapnya tanda-tanda
kebesaran-Nya) dengan ditampakkannya kekuasaan Allah kepada para Nabi dengan
mu’jizat dan untuk selain para Nabi, dengan karamah (Kemuliaan) dan
dikabulkannya doa.[46]
C. Tokoh
Sufi besar dan Pokok ajarannya
1. Tasawuf Akhlaki
Secara
Etimologis,tasawuf akhlaki ini bermakna membersihkan tingkah laku atau saling
membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, maka tingkah laku
manusialah yang menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaki ini dapat dipandang sebagai
sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia (Moralitas masyarakat). Dan
supaya lebih mudah menempatkan posisi tasawuf
dalam kehidupan masyarakat, sehingga para pakar membentuk spesifikasi
kajian tasawuf ini pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasari oleh sabda Nabi
Muhammad Saw.
انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق(رؤاه
احمد ؤالبيهقسي)
Artinya: “Sesungguhnya Aku
(Muhammad) telah diutus(dengan tujuan) Untuk menyempurnakan akhlak.”
a. Hasan
Al-Basri
Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar
adalah nama lengkap dari Hasan Al-Basri. Ia adalah seorang zahid yang amat
masyhur dikalaan tabiin. Ia adalah Putera Zaid bin Tsabit, seorang budak yang
tertangkap di maisan, yang kemudian menjadi sekertaris Nabi Muhammad Saw.[47]Ia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis tanggal
10 Rajab tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin
Khattab wafat dan dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan perang badar dan 300 sahabat lainnya.
Adapun pokok ajaran tasawuf Hasan
Al-Basri menurut Hamka yakni[48]:
a. Perasaan takut yang menyebabkan
hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan rasa perasaan
takut.
b. Dunia adalah negeri tempat
beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, maka ia
akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun,barang siapa bertemu dunia
dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, maka ia akan sengsara
dan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c. Tafakkur membawa kita kepada
kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan
kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyaknya
tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapapun sedikitnya.Waspadalah terhadap
negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
d. Dunia ini adalah janda tua yang
telah membungkuk dan beberapa kali ditinggalkan dunia.
e. Orang yang beriman akan senantiasa
berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut,
yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang
masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
f. Hendaklah setiap orang sadar akan
kematian yang senantiasa mengancamnya dan kiamat akan menagih janjinya.
g. Banyak duka cita didunia memperteguh
semangat amal shaleh.
Abu Na’im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan
tasawuf Hasan Al-Basri sebagai berikut,”Sahabat takut(khauf) dan
pengharapan (Raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak
pernah tidur tenang karena selalu mengingat Allahn .”pandangan tasawufnya yang
lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan
takut kalau tidak mampu melksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Sehingga sya’rani berkata “ Demikian takutnya sehingga
seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu diciptakan untuk dirnya (Hasan
Al-Basri).
b. Al-Ghazali
Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-thusi
Asy-syafi’i Al-Ghazali dan mendapat gelar “Hujjah Al-Islam”. Ia lahir
pada tahun 450 H/1058 M di kampung Gazlah, sebuah kota dikhurasan, iran.[49]Ayahnya
seorang ahli tasawuf yang shaleh, meninggal dunia ketika Al-Ghazali dan
saudaranya Ahmad masih kecil. Namun sebelum meninggal ayahnya telah menitipkan
kedua puteranya kepada seorang ahli tasawuf
untuk mendidik dan membimbingnya.[50]
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu,
ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah
(Taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.[51]
Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah
moralits (Akhlak). Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil
mendeskripsikan jalan menuju Allah Swt. Makrifat menurut versi Al-Ghazali
diawali dalam bentuk latihan jiwa,lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase
pencapaian rohani dalam tingkatan-tingatan (maqamat) dan keadaan (Ahwal).Oleh
karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa yang sangat besar dalam duia islam,
dimana di telah mempersatukan atau memadukan ketiga kubu keilmuan islam, yakni
tasawuf, fiqhi,dan ilmu kalam, yang sebelumnya mengalami ketegangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf
sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa sehingga sampai kepada
makrifat yang membantu mnciptakan kebahagiaan (sa’adah)
1. pandangan Al-Ghazali tentang
Makrifat
Makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[52]
Alat untuk memperoleh makrifat bersandar pada sir, Qalb, dan dan ruh.
Dalam kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai
kepada Tuhan bagi orang awam, Ulama dan arif (sufi). Ia membuat perumpamaan
tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalm rumah. Keyakinan orang awam
dibangun atas dasar taklid (buta) dengan mengikuti perkataan orang lain bahwa
si fulan ada di dalam rumah, kalau keyakinan Ulama, bahwa adanya sifulan karena
ada tanda-tanda seperti ada suara yang terdengar, Walaupun orangnya tidak
kelihatan. Sedangkan orang arif (sufi) tidak sekedar melihat tanda-tanda
melalui suara yang ada di balik dinding, akan tetapi ia memasuki rumah itu dan
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa sifulan memang benar-benar ada
di dalam rumah.[53]
2. Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut Beliau, kelezatan dan
kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Dalam
kitab kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa as-Sa’adah (Kebahagiaan) itu
sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan
ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah,
Nikmatnya telinga kalau ia mendengar suara yang merdu. Demikian pula dengan
seluruh anggota badan. Semuanya memiliki kenikmatan tersendiri.[54]
Kelezatan dan kenikmatan dunia
bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan
dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada Qalb dan tidak akan hilang
walaupun manusia telah mati. Hal itu karena qalb tidak ikut mati, malah
kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya yang
terang benderang.[55]
2. Tasawuf Irfani.
Disamping tasawuf akhlaki yang
membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan dan perkataan
yang benar, ada juga tasawuf irfani yang tingkatannya lebih tinggi lagi. Ini
tidak membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia, tetapi lebih jauh
menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan.
Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. kita tidak ingin dipuji,atau jika
dipujipun, tidak pernah berubah,dan bila dicaci maki pun tak pernah berubah,
semuanya adalah semata-mata karena Allah Swt.
a. Rabi’ah
Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama lengkap
Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, diperkirakan lahir
pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan dekat kota bashrah
(irak).dan wafat di kota itu pula pada tahun 185 H/801 M.[56]Ia
dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin dan karena ia
merupakan putri keempat maka diberilah ia nama Rabi’ah . Kedua orang tuanya
meninggal ketika ia masih kecil. Konon ketika ia masih kecil, pada saat
terjadinya perang dibashrah,ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga
Atikdari suku Qais banu Adwah.[57]Dari
sini, ia kemudian dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyyah. Pada keluarga
ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi kemudia dibebaskan karena tuannya melihat
pancaran sinar yang menerangi seluruh ruangan rumah dikepalanya pada saat ia
tengah melaksanakan ibadah.[58]
Rabi’ah Al-adawiyyah, tercatat
dalam perkembangan mistisime islam sebagai peletk dasar tasawuf berdasarkan
cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme
dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula
yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Cinta Rabi’ah kepada Allah sangat
mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya sehingga membuatnya hadir bersama
Allah. seperti yang terungkap dalam syairnya,
-Ketika bermunajat ,Rabi’ah kerap
kali menyampaikan
“Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalm
mencintai-Mu Hingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya tuhan,
bintang dilangit telah gemerlapan maka telah bertiduran, pintu-pintu istana
telah dikunci,dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan
inilah aku yang berada duhadirat-Mu.
-sewaktu fajar menyingsing,Rabi’ah
berkata
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah
menampakkan diri aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa
bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih. Demi
kemahakuasaan-Mu,inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu,aku tidak akan pergi karena
cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”[59]
b. Abu
Yazid Al-Butsami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid
Thaifur bin ‘Isa bin Syurusan Al-Bustahi. Ia lahir di daerah Bustam(Pesia)
tahun 874 – 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Syurusan yang
menganut agama Zoroaster dan kemudian masuk pemeluk islam di Bustam. Keluarga Abu Yasid termasuk
orang kaya di daerahnyejak dalam kandungan ibunya, abu Yazid telah mempunyai
kelebihan.karena sewaktu ia berada dalam kandungan ibunya ia akan meronta-ronta
sampai ibunya muntah ketika ibunya memakan makanan yang kehalalannya masih
meragukan.[60]
Ajaran pokok tasawuf beliau adalah
fana’ (musnah) dan baqa’(tetap). Menurut Abu Bakar
Al-Kalabadzi(w.378 H/988 M) fana’ adalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu
seseorang ,tidak ada pamrih dari segala perasaannya dan dapat membedakan
sesuatu secara sadar. dan ia telah menghilangkan semua kepentingannya ketika
berbuat sesuatu.[61].
Ittihad adalah tahapan selanjutnya setelah fana’ dan baqa’. Dalam tahapan
ittihat soerang sufi telah merasa menyatu dengan Tuhannya. Dengan fana’nya, Abu
Yazid meninggalkan dirinya dan menuju kehadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada
dekat dengan tuhan yang dibuktikan dengan syatahat (perkataan) ketika
seorang sufi sudah berada pada pintu
gerbang Ittihad. seperti yang
diucapkanbeliau setelah shalat subuh.
انني انا ا لله لااله الاانا فعبدني
“ Sesungguhnya Aku
adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain aku. Maka sembahlah aku.”
Suatu ketika,seseorang melewati
rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu rumahnya, Abu Yazid berkata, “Siapa yang
engkau cari?” kemudian orang itu menjawab, saya mencari seorang bernama “Abu
Yazid,” Kemudian Abu Yazid pun berkata kepada orang tersebut, “pergilah, du
rumah ini tidak ada Abu Yazid, yang ada hanyalah Allah yang Maha kuasa dan Maha
tinggi.Ketika ucapan-ucapan Abu Yazid di atas didengar secara sepintas maka
orang yang mendengarnya akan menilai bahwa Abu yazid telah kufur (syirik)
karena mengatas namakan dirinya adalah Allah.
Oleh karena itu,dalam sejarah ada diantara mereka sufi yang dipenjara
bahkan sampai dibunuh karena ucapannya yang membingungkan.[62]
c. Abu
Manshur Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu
Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha,
sebuah kota kecil dipersia pada tahun 244 H/255 M. ia tumbuh dewasa dikota
wasith,dekat bagdad. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya diperoleh dari
memintal wol.[63].
Adapun jaran tasawuf Al-Hallaj
yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat tasawuf hulul ini adalah berarti suatu paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil asy-syuhud,
yang kemudian melahirkan paham Wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
dikembangkan Ibn Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan tuhan (hulul)
. yang dalam istilah tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada
didalam tubuh itu terlebih dahulu dilenyapkan.[64]
Oleh karena itu, ucapan Al-Hallaj”
Anaa al haqq” yang konon tidak bisa dimaafkan oleh para ulama fiqhi dan
dianggap sebagai ucapan kemurtadan, sehingga hal ini yang dijadikan alasan untuk
melakukan penangkapan kepada Al-hallaj dan memenarakannya. Namun, setahun
kemudian ia mampu meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir
penjara. Akan tetapi, ia kemudian kembali ditangkap di kota Sus.
setelah dipenjara selama delapan
tahun,Al-Hallaj dihukum gantung.sebelum digantung,ia dicambuk seribu kali,tetapi
tidak mengaduh kesakitan,lalu kepalanya dipenggal.sebelum dipenggal,ia meminta
waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat.setelah shalat,kaki dan tangannya
dipotong,badannya digulung dalam tikar bambu,lalu dibakar dan abunya dibuang
kesungai,sedangkan kepalanya dibawa ke khurasan untuk
pertontonkan.Akhirnya,Al-Hallaj wafat pada tahun 992 M.
Menurut Al-Hallaj, Pada hulul terkandung
kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap
kehendaknya adalah merupakan kehendak Tuhan, demikian pula dengan tindakannya,
Namun dilain waktu, Al-Hallaj mengatakan,“Barang siapa mengira bahwa ketuhanan
berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan
ketuhanan, maka kafirlah ia. sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya.”[65]
Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya adalah Tuhan
dan tidak sama dengan Tuhan, seperti yang ada dalam syairnya,
انا سراحق انا بل اناحق ففرق بيننا
“Aku adalah rahasia yang Maha
benar dan
bukanlah yang Maha benar itu aku.
Aku hanya satu dari yang benar
Sehingga dapat ditarik sebuah
benang merah bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena
memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamaba dan Tuhan .
Dngan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada
kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekedar terlebarnya nasut dalam lahut,
atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan sepertidalam syairmya,”
Air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk”.
3. Tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional
pengasasnya.Berbeda dengan tasawuf akhlaki,tasawuf filsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya.Terminologi falsafi tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para
tokohnya.
a. Ibnu
‘arabi
Nama lengkap ibn ‘arabi adalah
muhammad bin ‘ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami.ia lahir di
Murcia,Andalusia Tenggara,Spanyol,tahun 560 H dan berasal dari keluarga
berpangkat,hartawan, dan ilmuwan.Namanya biasa disebut tanpa ‘al’ untuk
membedakan dengan Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi,seorang qadhi dari seville yang wafat
tahun 543 H.Di seville (Spanyol),ia mempelajari Al-Quran,Al-Hadits,dan fiqh
pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal,yakni Ibn Hasm Azh-Zhahiri.[67]
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah
tentang wahdat al-wujud (kesatua wujud).meskipun demikian,istilah wahdat
al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal
dari dia,tetapi berasal dari ibnu Taimiyah,tokoh yang paling keras dalam
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut,atau setidak-tidaknya tokoh
itulah yang telah berjasa dalam memopulerkan ketengah masyarakat islam,meskipun
tujuaannya adalah negatif. Di samping itiu,meskipun semua orang sepakat
menggunakan istilah wahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn Arabi, mereka
berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat al-wujud.
Menurut Ibn Taimiyah,wahdat
al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam.Menurut penjelasannya,orang-orang
yang mempuyai paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud ini
sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga
mukmin al-wujud yang dimiliki oleh mahluk. Selain itu orang-orang yang
mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama
dengan wujud Tuhan,tidak ada perbedaan.[68]
b. Al-Jili
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin
Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 di Jilan ,sebuah provinsi disebelah
selatan kasfia dan wafat pada tahun 1417M. Ia adalah seorang sufi yang terkenal
dari bagdad. Ia pernah belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul kadir jailani
seorang pemimpin dan pendiri tarekat Qadariah yng sangat terkenal.[69].
Ajaran tasawuf Al-jili yang
terpenting Adalah pahan insan kamil (manusia sempurna).menurut Aljili
insan kamil nuskhah atau copy tuhan, Aljili mengemukakan bahwa perumpamaan
hubungan tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin yang seseorang tidak
akan dapat melihat bentuk darinya,kecuali dengan menggunakan cermin itu.
menuruk
Arberry,konsep insan kamil Al-jalil dekat dengan konsep hulul Al-hallaj
dan konsep ittihat Ibn’Arabi,yaitu
integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari nur
muhammad.Adapun Ibnu’arabi mentransfer konsep hulul Al-hallaj dalam paham
ittihat ketika menggambarkan insan kamil
sebagai wali-wali Allah,yang diputi oleh nur muhammad SAW.
Dengan demikan,dari sudut pandang
manusia,tuhan merupakan cermin bagi manusia untuk melihat dirinya.dia tidak
mungkin melihat dirinya tampa cerin itu.sebaliknya,karnah tuhan mengaharuskan
dirinya agar sifat-sifat dan nama-namanya tidak dilaht,tuhan menciptakan insan
kamil sebagai cerminan dirinya.Dari sini,tampak hubungan antara tuhan dan insan
kamil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut bahasa tasawuf berasal dari
kata shuf صاف - يصؤف – صؤفا Artinya mempuyai bulu yang banyak, Dalam kaidah bahasa arab berari (menjadi) berbulu
yang banyak, dengan arti sebenarnya adalah menjadi sufi yang ciri khas pakaiannya
selalu terbuat dari bulu domba(Wol).
Secara Terminologi dapat dipahami bahwa tasawuf adalah ilmu yang
mempelajari suatu cara agar seseorang dapat dengan mudah berada dikhadirat
Allah Swt. Gerakan ‘kejiwaan’ penuh dirasakan untuk memikirkan dengan
sungguh-sungguh suatu hakikat kontak hubungan yang mampu menelaah informasi
dari tuhannya
Adapun
maqamat dalam tasawuf adalaah (1)Taubat, (2)Zuhud, (3)sabar, (4)Tawakkal,
(5)Rida, (6)Mahabbah, (7)makrifat. sedangkan Ahwalnya yakni (1)Muraqin.
Adapun
tokoh sufi besar dalam tasafuf yakni :
1.Tasawuf
Akhlaki
a. Hasan Al-Basri (Raja’ dan
khauf )
b. Al-Ghazali (Makrifat)
2.
Tasawuf Irfani
a.
Rabi’ah Al-Adawiyah (Mahabbah)
b. Abu Yazid Al-Butsami (Fana’ dan Baqa’)
c.
Abu Mansur Al-Hallaj (Hulul dan wahdat asy-syuhud)
3.
Tasawuf falsafi
a. Ibnu Arabi (Al-wahdat Al-wujud)
b. Al-jili ( Insan Kamil)
B. Saran
Pembaca juga bisa membaca referensi lain dari buku-buku atau sosial media terkait judul makalah kami, sebagai tambahan pengetahuan dan perluasan wawasan pemabaca tentang tasawuf itu sendiri.
DAFTAR FUSTAKA
Abu
Nashr As-Sarraj Ath-thusi. Al-Luma’. Kairo: Dar Kitab Al-Haditsah.1960.
Abd. Ar-RahmanAl-Badawi. Syahidat Asy-Syq Al-Ilahi
Rabi’ah Al-Adawiyyah. Kuwait: Al-WalakatAl-Mathbu’ah.1978
Ali Sami’ An-Nsyar. Nasy’ah Al-Fikr Al-falsafah fi Al-Islam.
Juz III. Mesir: Dar Al-Ma’rif. 1911.
Al-Ghazali.
Ihya ‘Ulum Ad-Din. Jilid IV.
Ahmad
faridh. Tazkiyat An-nafs. Trans . Nabhani Idris. Bandung :Pustaka. 1998;
Asmaran
As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1996.
Dewan
Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jilid 5.
Fariduddin
Al-Athtar. Warisan Para Auliya’. Bandung: Pustaka.1983.
H.A Mushofa. Akhlak
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2002.
Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam islam.
Jakarta: Bulan bintang. 1973.
Iberahim
Basuni, Nasy’ah At-Tashawuf Al-Islamy. Mesir: DarAl-Ma’rif. 1911.
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli. Ibn Tamiyah As-Ishlah Ad-Diniy.
Damaskus: Dar . Al-Ma’rifah. 1397 H/1997 M
M. Syatori. Tasawuf. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati
Fakultas Ushuluddin.1991. hlm. 2-5
R.A. Nicholson. Studies in Islamic Mystisime. Delhi, India:
Idarah-I Adawiyat-I. 1981
T.J. De Boer. The History of Philosophy in Islam. New York:
Dover Publikatiaon Inc.t.t
Umar Faruq. Tarikh Al-fikr Al-‘Arabi ila Ayyami Ibn Kaldum. Beirut
: Dar Al-Ilm li Al-Malayin. 1983.
[2]
Harun Nasution.
Falsafah dan Mistisisme dalam islam. Jakarta: Bulan bintang. 1973.
Hlm.57
[4]
Iberahim
Basuni, Nasy’ah At-Tashawuf Al-Islamy. Mesir: DarAl-Ma’rif. 1911. Hlm. 9
[5]
Nasution, op.
Cit.,
[6] Ibid.
[7]
Ibrahim basuni,
op. Cit., hlm. 5
[8]
M. Syatori. Tasawuf.
Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Ushuluddin.1991. hlm. 2-5
[10]
Dewan Redaksi
Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jilid 5. hlm. 74
[11]
Ali Sami’
An-Nsyar. Nasy’ah Al-Fikr Al-falsafah fi Al-Islam. Juz III. Mesir: Dar
Al-Ma’rif. 1911. Hlm 105-139, dan 239.
[12]
Lihat Jamal
fakhri. “Tasawuf:Asal-usul,pengertian,Tujuan,Maqamat,dan Ahwal” Makalah
yang disampaikan dalam seminar sejarah pemikiran dalam islam,Rabu,12 April 1995,
Program Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah: Jakarta. 1995; hlm. 5-6.
[13]
Abu Nashr
As-Sarraj Ath-thusi. Al-Luma’. Kairo: Dar Kitab Al-Haditsah.1960. hlm.65
[14]
Nashr. op.
cit. hlm. 88-89
[15]
Nasution. op.
cit. hlm 67
[16]
Lihat
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum Ad-Din. Jilid IV. hlm. 10-11
[17]
Nasution. op.
cit. hal. 67
[18]
Anwar. op.
cit. hlm. 74
[19]
Nasution op.
cit. hlm. 68
[20]
Al-Ghazali. Op.
cit. hlm. 58-59
[21]
Fakri. Op.
cit. hlm. 9
[22]
Al-Ghazali. Op.
cit. hlm. 322
[23]
Ath-Thusi. Op.
cit. hlm. 80
[24]
Ahmad faridh. Tazkiyat
An-nafs. Trans . Nabhani Idris. Bandung :Pustaka. 1998; Hlm.166
[25]
Nasution. Op.
cit. hlm. 70
[26]
Ath-thusi. Op.
cit. hlm. 86
[28]
Nasution.
Op. cit. hlm. 75
[31]
Ibid. hlm.
83-85
[34]
Ath-Thusi.
op. cit. hlm. 113.
[40]
Faridh. op.
cit. hlm. 171-173
[41]
Faridh. op.
cit. hlm. 179.
[42]
Suhrawardi. op.cit.
hlm. 191.
[43]
Umarie. op.
cit. hlm. 85
[44]
Nasution. op.
cit. 94
[47]
Asmaran As. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1996. Hlm.257
[49]
T.J. De Boer. The
History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publikatiaon Inc.t.t hlm.
155
[50]
Umar Faruq.
Tarikh Al-fikr Al-‘Arabi ila Ayyami Ibn Kaldum. Beirut : Dar Al-Ilm li
Al-Malayin. 1983. Hlm 485
[51]
Lihat
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum Ad-Din. Kairo: Mustafa Bab Al-Halab.1334 Jilid
III. Hlm. 350
[52]
Harun Nasution.
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1978. Hlm.
78.
[53]
Al-Ghazali.
Op. cit. jilid III. Hlm. 156
[54]
Al-Ghazali. Kimiya
As-Sa’adah, Bairut: Al-Maktabah Asy-Syi’biyah t.t. hlm. 130-132
[56]
Lihat Farid As-Sin
Al-Arthuthar. Muslim Saints dn Mystics. Terj. A.J Arberry,
Routledega,dan kegan Paul. 1979. Hlm 39
[57]
Abd.
Ar-RahmanAl-Badawi. Syahidat Asy-Syq Al-Ilahi Rabi’ah Al-Adawiyyah.
Kuwait: Al-WalakatAl-Mathbu’ah.1978.hlm. 13
[58] Al-Arthuthar. op.cit.
hlm.42
[59]
Ibrahim
Basyuni. Nasy’at At-Tasawwuf. Mesir: Dar Al-Ma’rif. t.t hlm.190
[60]
Fariduddin
Al-Athtar. Warisan Para Auliya’. Bandung: Pustaka.1983. hlm 128-129
[62] Nasution,
op.cit. hlm. 56-57
[65]
At-Taftajani. op.cit.
hlm. 125
[66]
Nasution. op.
cit. hlm. 91
[67]
At-Tafthazani. op.cit.
hlm. 201.
[68]
Muhammad Mahdi
Al-Istanbuli. Ibn Tamiyah As-Ishlah Ad-Diniy. Damaskus: Dar . Al-Ma’rifah. 1397
H/1997 M. hlm. 59
[69]
R.A. Nicholson.
Studies in Islamic Mystisime. Delhi, India: Idarah-I Adawiyat-I.
1981.hlm. 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar