Minggu, 07 Desember 2014

TASAWUF : Pengertian ,Ahwal dan maqamat, Tokoh besar sufi dan pokok ajarannya

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak dahulu hingga sekarang, Pembahasan mengenai Tasawuf masih belum dapat dituntaskan karena berbagai macam pandangan dari bebagai pihak. Namun perkembangan tasawuf dari abad ke-abad tumbuh  seiring berkembangnya pula islam itu sendiri yang ajarannya dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dengan berdasar kepada Al-Qur’an dan Hadis rasulullah Saw.
Setelah memperhatikan permulaan tumbuhnya, jelaslah bahwa -ilmu tasawuf tumbuh sendiri lantaran pengaruh membaca ayat-ayat suci Al-qur’an, Memahami maksudnya, membaca hadist,  mencontoh kehidupan  Nabi dan para sahabatnya, Serta pengaruh tuntunan agama islam pada umumnya. Tetapi pada awal pertumbuhannya sampai akhir abad kedua hijriah, belum menjadi suatu ilmu yang tersusun dengan beberapa syarat dan tata cara tertentu.
Jadi, tumbuhnya ilmu tasawuf adalah disebabkan karena orang senantiasa kekeal mengerjakan amal ibadah, mendekatkan hati mereka kepada Allah, dan berpaling dari kemegahan dunia, tidak menaruh perhatian terhadap dunia. Mereka zuhud dari dunia meninggalkan apa yang tidak berguna sekalipun halal dan baik menghindarkan diri dari kesenangan duniawi dan kemewahan-kemewahan lainnya.



Namun dari satu sisi, ada juga dari beberapa pihak yang sengaja mengaburan dan dengan cara terang-terangan menentang ilmu tasawuf degan tujuan ingin membasminya.
Bahakan mereka menuduh, bahwa kaum sufi sebagai ahli bid’ah, ahli tahayyul, dan hurafat atau orang yang sesat disamping mereka tidak segan-segan menghinanya. Dari itulah, makalah ini kami buat agar yang memebacanya dapat memahami dan setelah dibaca maka akan ada perubahan yang dirasakan seperti ketenangan batin,jiwa dan sekaligus menyucikan diri dari sifat-sifat tercela, Sehingga dengan demikian bersihlah jiwa dalam mengbdikan diri kepada Allah Swt.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, maka yang dapat kami angkat sebagai rumusan masalah dalam makalah kami ini adalah seperti berikut:
1.      Apa pengertian Tasawwuf secara lugawi dan istilah ?
2.      Bagaimana proses Ahwal dan Maqamat dalam tasawuf ?
3.      Siapa saja tokoh sufi dalam bidang tasawuf dan pokok ajarannya ?

C.    Tujuan Penulisan
Makalah ini kami buat untuk mengetahui Pngertian tasawuf secara lugawi dan istilah, Ahwal dan maqamat dam tasawuf, tokoh – tokoh sufi besar dan ajaran pokonya.
Setelah pembahsan tersebut diketahui maka dapat dipilah dan diterapkan dalam kehidupan kita agar mampu kita realisasikan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt sedekat mungkin.

D.    Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam makalah kami ini adalah bersumber dari berbagai buku bacaan yang terkait dengan maaslah tasawuf. Dan beberapa referensi lainnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf
1.      Secara Etimologis
Menurut bahasa tasawuf berasal dari kata shuf   صاف - يصؤف – صؤفا Artinya mempuyai bulu yang banyak, Dalam  kaidah bahasa arab berati (menjadi) berbulu yang banyak, dengan arti sebenarnya adalah menjadi sufi yang ciri khas pakaiannya selalu terbuat dari bulu domba(Wol).[1]
Akan tetapi, arti tasawuf secara lughawi (etimologis) itu diperselisihkan oleh para ahli. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan mereka dalam memandang asal – usul kata itu, Adapun asal – usul kata tasawuf adalah sebagai berikut:
1.      Tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti wol kasar karena orang sufi selalu memakai pakaian tersebut sebagai lambang kesederhanaan. Hal ini merupakan reaksi terhadap kehidupan mewah yang dinikmati oleh para penguasa, baik penguasa bani umayyah maupun bani abbasiyah.[2]
2.      Tasawuf berasal dari akar kata shafa, yang artinya bersih. Di sebut sufi karena hatinya tulus dan bersih dihadapan tuhannya. Dan memang tujuan sufi melakukan hal tersebut karena ingin membersihkan batin melalui latihan – latihan yang lama dan ketat.[3]
3.      Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan Ahl As-Shuffah, yaitu orang-orang yang tinggal di suatu kamar di samping masjid Nabi di madinah. Mereka tidur di atas batu dengan pelana sebagai bantal. Makan dan minum mereka ditanggung oleh pemerintah atau orang-orang kaya di kota madinah. Walaupun miskin, Mereka adalah pejuang fi sabillillah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.[4]
4.      Tasawuf berasal dari kata ‘shopos’, yang berasal dari yunani dan memiliki arti ‘Hikmah’. Kalau diperhatikan sekilas, memang ada hubungan antara orang sufi dangan hikmah, karena orang shufi membahas masalah yang mereka persoalkan berdasarkan pembahasan yang falsafi.[5]
5.      Tasawuf berasal dari kata ‘ shaf’. Dinisbatkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaf yang paling depan. Alasannya bahwa orang yang berada di shaf terdepan maka dia akan mendapatkan kemuliaan dan pahala dari Allah Swt.[6]
6.      Tasawuf berkaitan dengan kata Asshifath’ karena para sufi sangat mementingkan sifat – sifat t[7]erpuji dan berusaha keras meninggalkan sifat – sifat tercela.
7.      Tasawuf berasal dari kata ‘ shaufana’, yaitu sebangsa buah – buahan kecil  yang berbulu – bulu dan banyak tumbuh dipadang pasir  di tanah Arab.
Dari berbagai uraian diatas nampaknya yang banyak disepakati dan diakui kedekatannya dengan makna tasawuf  yang dipahami sekarang adalah term yang pertama , yakni ‘Shuf’ (Wol).
2.      Secara Istilah
Secara istilah, baik menurut kalangan sufi (pengamal Ajaran Tasawuf) maupun para pengamat, istilah tasawuf ini memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman spiritual dan pengmatan masing-masing.
Menurut Iberahim Basyuni, Seperti yang dikutip oleh M.syatoiri,[8] walaupun bermacam-macam, definisi tersebut bisa dikelompokkan kedalam tiga kelompok, yakni :

1.      Definisi yang terjadi karena dasar
Manusia dengan fitrahnya tidak akan menguasai seluruh hakikat.hal tersebut karena dibalik hakikat masih ada hakikat yang paling agung dan dapat menguasai seluruh hakikat. Dengan fitrahnya, manusia berusaha untuk mendekati-Nya, menyerupai-Nya, dan bersatu dengannya. Oleh karena itu, banyak orang sufi yang memberikan definisi tasawuf sesuai dengan fitrahnya diantaranya sebagai berikut.
a.       Abu Husain An-Nuri (w. 272 H )
Sufiah adalah kelompok kaum yang memiliki hati bersih dari segala keburukan yang dibuat manusia dan bersih dari penyakit batin serta bebas dari segala bentuk syahwat sehingga mereka berada dibarisan terdepan atau yang paling pertama dan mendapat derajat yang tinggi serta kebenaran. Ketika mereka meninggalkan apa-apa selain Allah, Jadilah mereka orang-orang yang tidak memiliki dan dimiliki.
b.      Al-junaidi (w. 296 H )
Tasawuf adalah menyucikan hati sehingga tidak ditimpa suatu kelemahan, menjauhi alamiah,melenyapkan sifat kemanusiaan, dan menjauhi segala keinginan dan nafsu.
c.       Dzun Al-Mishri ( w. 245 H )
Sufi adalah seorang yang tidak menyusahkan dirinya dari segala permintaanya, juga tidak menyusahkan dirinya dari ketiadaan.

2.      Definisi dari segi kesungguhan
Definisi tasawuf secara jahidah mulai mengadakan pendekatan secara alamiah dengan cara memeperindah diri melalui pengamalan agama dan Fadhilah-fadhilahnya.



          Atas dasar amaliah ini banyak yang memberikan ta’rif tasawuf, diantaranya sebagai berikut:
a.       Al-Kanani
Tasawuf adalah akhlak, maka barang siapa yang bertambah baik akhlaknya, maka bertamabah pula kesuciannya.
b.      An-Nuri
Tasawuf bukanlah lukisan atu ilmu, akan tetapi merupakan akhlak. Bila merupakan lukisan, tasawuf akan dapat dicapai dengan dasar kesungguhan, Bila merupakan ilmu tasawuf akan dapat dicapai dengan belajar. Akan tetapi asawuf hanya akan dapat dicapai melalui akhlak , yaitu akhlak Allah. Pada diri seseorang tidak akan dapat diterima akhlak yang bersifat ketuhanan bila melalui lukisan dan ilmu.
c.       Sahal bin Abdillah
Tasawuf adala menyedikitkan makan, sungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Swt. Dan lari dari manusia.

3.      Definisi dari segi perasaan
Tasawuf dari segi ini, yaitu orang yang sudah memasuki dunia sufi harus mampu menggerakkan jiwa pada kegiatan-kegiatan tertentu untuk mendapatkan suatu perasaan yang berhubungan dengan wujud tuhan yang mutlak atau kehidupan rohani yang berusaha mendekatkan diri kepada tuhan dengan berbagai cara, seperti memperbanyak amalan shaleh yang wajib maupun yang sunnah.

Dari uraian beberapa pengertian diatas, Maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa tasawuf adalah pembersihan diri. Dengan kata lain, tasawuf merupakan suatu perpindahan kehidupan, yaitu dari kehidupan kebendaan kepada kehidupan kerohanian.[9]
Karena sulitnya memberikan definisi lengkap tentang tasawuf, sehingga menurut Abu Al-Wafa’ Al-Ganimi At-Taftazani (peneliti tasawuf) mengatakan bahwa secara umum, taswuf mempunyai lima ciri yakni sebagai berikut:
1.      Adanya moral;
2.      Pemenuhan Fana (sirna) dalam realitas mutlak;
3.      Pengetahuan intuitif langsung;
4.      Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah dalam diri seorang sufi karena tercapainya maqam-maqam atau beberapa tingkatan;
5.      Penggunaan simbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.[10]

Tasawuf bertujuan memperoleh suatu hubungan khusus dengan tuhan yakni mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang berad dikhadirat tuhan. Kesadaran tersebut akan mrnuju kontak komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan tuhan. Hal ini melalui dengan cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan tuhan akan membentuk ittihad (bersatu) dengan tuhan. Hal ini menjadi inti persoalan ‘sufisme’, baik pada agama islam maupun luar islam.
Dengan pemikiran diatas, dapat dipahami bahwa tasawuf adalah ilmu yang mempelajari suatu cara agar seseorang dapat dengan mudah berada dikhadirat Allah Swt. Gerakan ‘kejiwaan’ penuh dirasakan untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh suatu hakikat kontak hubungan yang mampu menelaah informasi dari tuhannya.
Para sufi ini muncul pertama kali di kufah tokoh sufi yang terkenal diantaranya Sufyan Ats-Tsauri (w. 135 H), Abu Hasyim ( w. 150 H), Jabir bin Hayyan (w. 190 H ) dan basrah tokoh sufi yang bercorak ekstrim terkenal diantaranya Hasan Al-Basri( w. 110 H ),serta Rabiah Al-Adawiyah(w.183 H)[11]


B.     Ahwal  dan Maqmat dalam tasawuf
a). Maqam Tasawuf
Jalan yang harus ditempuh oleh sorang sufi untuk sampai kepada kehadirat Tuhan-Nya apakah itu dengan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan bersatu dengan tuhan-Nya, merupakan salah satu proses yang sangat panjang dan penuh rintangan. Oleh sebab itulah, hanya sedikit orang yang mampu untuk mencapai puncak dari tujuan tasawuf itu sendiri. Dan bahkan tidak sedikit seorang sufi yang sampai-sampai jatuh ketika dalam tahapan berjalan pada puncaknya.[12]
Jalan, yang intinya penyucian diri itu, oleh kaum sufi dibagi kedalam stasiun-stasiun yang biasa dengan Maqamat. Ath-thusi, Maqamat adalah kedudukan seorang hamba dalam perjalanaannya menuju kehadirat tuhan-Nya melalui ibadah, kesungguhan melawan rintagan (Al-mujahadat), dan latihan-latihan rohaniah (Ar-riyadhah ).[13]
Dikalangan para kaum sufi, urutan Maqam-maqam ini berbeda-beda. Sebagian mereka merumuskan Maqam-maqam dengan sederhana , seperti rangkaian maqam qana’ah berikut ini: Tanpa qana’ah, tawakkal tidak akan tercapai. Tanpa tawakkal, taslim tidak akan ada,sebagaimana tanpa tobat,inabah tidak akan ada,tanpa wara’ zuhud tidak akan ada.
Terdapat perbedaan jumlah dan sistematika maqamat antara ulama satu dengan ulama lainnya. Perbedaan ini timbul karena adanya perbedaan pengalaman rohaniah masing-masing ulama sufi. Sayyid Hosein Nashr menganalogikan perjalanan sufi itu sperti halnya dengan mendaki gunung. Awal dan akhirnya diketahui,tetapi jumlah dan perincian yang sesungguhnyadari tiap langkah yang harus diambil serta ciri-ciri utama jalan yang ditempuh adalah sama,yaitu tuhan.[14]
Adapun sistematika Maqamat dalam kitab tasawuf adalah sebagi berikut:
1.  Tobat
Maqamat pada awalnya diawali dengan tobat yang sebenar-benarnya tobat yang dilakukan oleh seorang sufi dan tidak membawa pada dosa lagi. Terkadang tobat tidak dapat dicapai hanya dengan sekali saja akan tetapi tobatnya seorang sufi itu dapat dicapai kalau sudah mencapai 70 kali taubat sehari semalam atau bahkan lebih seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.[15]
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal dijalan menuju Allah. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa yang dilakuan oleh jasad atau anggota badan. Pada tingkat menengah, disamping menyangkut dosa yang dilakukan oleh jasad, tobat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki,sombong dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan meyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir , tobat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu, selain yang dapat memalingkan dari jalan Allah.[16]

2.      Zuhud
Pada maqam kedua ini, Seorang sufi meninggalkan dunia kematerian. Kebersihan dari dosa tidak cukup dengan hanya bertobat, akan tetapi juga harus diberangi dengan meninggalkan dunia materi dan kebutuhan jasmani. Setelah bersih dari dosa, seorang sahid mulai melihat tuhan bukan sebagai tuhan yang ditakutisiksa-Nya, akan tetapi sebagai tuhan tempat mencari ketentrman jiwa.[17]
Dilihat dari maksudnya, Zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama(terendah), menjauhkan diri dari dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan cara menimbang imbalan diakhirat. Ketiga(tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah semata. Orang yang berda pada tingkat tertinggi ini akan memandang segala sesuatunya tidak mempunyai arti apa-apa kecuali Allah.[18]

3.      Sabar
Sabar bukan hanya berarti patuh dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, ttapi sabar juga  dalam artian menerima segala cobaan yang ditimpakan Tuhan kepadanya.[19]
Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan oleh Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa, sedangkan menahan terhadap penyakitfisik tersebut sebagai sabar badani. Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek, misalnya untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[20]

4.      Tawakkal
Pada maqam ini, seorang sufi mestinya tawakkal (menyerahkan) diri sepenuhnya pada kehendak Allah. Menurut Ath-Thusi, Tawakkal terbagi kedalam tiga tingkatan, yaitu tawakkal orang-orang yang beriman, Tawakkal ahl al-khusus, dan tawakkal khusus al-khusus. Tawakkal umumnya orang-orang yang beriman tiada lain adalah menggunakan badan dalam beribadah, hati terpatut semata-mata kepada Allah Swt. Dan jiwa tentram dengan apa yang ada. Jika diberi, maka ia bersyukur dan jika dikenai musibah maka ia bersikap sabar dalam menghadapinya serta rela dengan apa yang menjadi ketentuan Allah Swt.[21]
Tawakkal merupakan gambaran keteguhan hati seseorang dalam meggantungkan diri hanya kepada Allah Swt.[22]Al-Ghazali mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakkal.

5.      Rela ( Rida )
At-thusi menjelaskan bahwa rida Allah dalam pintu gerbang mendekat kepada Allah. Dalam makam ini, hati seorang hamba begitu tentram dalam penyerahan diri kepda ketentuan Allah.[23]Ketika Al-junaid ditanya tentang rida, ia menjawab rida adalah menghapuskan pilihan. Adapun Dzun Nun Al-Mishri menjelaskan bahwa rida adalah kegembiraan hati menerima ketentuan Allah yang meskipun it pahit.
Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai oleh Allah Swt.
Orang yang rida mampu melihat hikmah dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemaha sempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanya para ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu besikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.[24]




6.      Mahabbah
Maqam keenam yang dilalui oleh para kaum sufi adalah mahabbah. Adapun pengertian dari mahabbah itu antara lain: (a)Mencintai kepatuhan kepada tuhan dan membenci sikap melawan-Nya;(b)Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi(Tuhan);dan (c)Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.[25]
Selanjutnya, Ath-Thusi menjelaskan bahwa dalam tingkatan mahabbah, seorang hamba dengan matanya memandang nikmat segala yang telah dilimpahkan Allah kepadanya, dan dengan qalbunya memandang suasana dekat dengan Allah, maka jath cintalah sang hamba kepada-Nya.[26]
Lebih jauh lagi, Ath-Thusi membagi mahabbah menjadi tiga tingkatan, yaitu: Pertama, Mahabbah bisa muncul karena kebaikan Allah kepada seorang hambanya. Cinta atau mahabbah ini diperoleh seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan sang kekasih seiring dengan mengingat asma-Nya secara terus menerus. Sebab, siapa yang mencintai sesuatu, ia sering menyebutnya.
Kedua, mahabbah shadiqin, yaitu membersit karena pengenalan yang mendalam atas kebesaran Allah. Cinta yang bersemi karena mata hatinya memandang kebesaran,ilmu,dan kekuasaan Allah. Cinta yang dapat mengungkap tabir yang memisahkan dirinya dengan tuhan dan mampu menguak rahasia Tuhan yang tersembunyi.
Ketiga, Mahabbah ‘arifin, yakni cinta hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya dengan baik. Dalam cinta yang seperti ini, yang dilihat bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[27]
Sufi yang termasyhur dengan pengalaman spritual mahabbah ini adalah seorang wanita bernama Rabi’ah Al-Adawiyah (713-801). Yang karena cintanya yang sangat mendalam kepada Tuhan sehingga memalingkan dirinya dari cinta kepada yang lain. Kerinduannya kepada sang kekasih begitu mendala. Dan sampai-sampai ia sangat khwatir kalau-kalaucintanya kepada Allah bertepuk sebelah tangan atau tidak terbalasakan.

7.      Makrifat
Setelah melalui mahabbah, Perjalanan spritual seorang sufi telah sampai kepada maqam makrifat. Akan tetapi menurut Al-Ghazali, makrifat datang terlebih dahulu kemudian mahabbah, Sebaliknya Al-Kalabi mengatakan bahwa makrifat datang sesudah mahabbah. Adapula yangberpendapat bahwa makrifat dan mahabbah adalah kembar dua yang senantiasa selalu disebutkan bersama. Mahabbah menggambarkan hubungan hamba dengan Tuhan dalam bentuk cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dalam bentuk pengetahuan dan sanubari.[28]
           Seorang sufi yang telah sampai kepada tingkat makrifat dapat melihat tuhan dengan mata hati sanubarinya. Dengan sampainya ia kepada tingkat ini, ia telah berada dekat dengan tuhan. Semakin tinggi tingkatannya dalam makrifat, maka semakin dekat pula ia dengan tuhan sehingga ia mampu bersatu dengan tuhan yang biasa disebut dengan  Ittihad (Penyatuan).[29]
           Akan tetapi, sebelum seorang sufi sampai kepada tingkat Ittihad, Terlebih dahulu ia harus meleburkan dirinya. Selama ia belum dapat meleburkan dirinya, yaitu ia masih sadar akan dirinya,  maka akan sulit bagi dirinya untuk mencapai dan bersatu dengan Tuhan. Pelebeuran ini dalam tasawuf disebut fana’, dan senantiasa diisingi oleh baqa’(menetap).Sesuatu dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatunya lagi akan baqa’ atau tinggal. Yang akan hancur dalam diri seorang sufi adalah kesadaran tentang dirinya(al-fana’ an-nafs), sedangkan yang akan tinggal atau muncul dalam diri seorang sufi adalah kesadaran sufi tentang diri Tuhan.[30]
           Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana’ dan baqa’ adalah Abu Yazid Al-Butsami (w. 874 M). Dengan fana’ Abu Yazid meninggalkan dirinya dan berada dekat dengan Tuhan. Ketika sampai keambang pintu Ittihad, dari mulutnya keluar ungkapan syatahat (ucapan teopatis)sebagai berikut:” Aku heran terhadap cintaku kepada-Mu karena aku hanyalah hambamu yang hina, Tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku karena Engkau adalah Raja Mahakuasa”.[31]
           Akhirnya Abu Yazid Al-Butsami sampai kepada Ittihad, sebagaimana dalam ucapannya,”Tuhan berkata,’mereka semua, kecuali engkau adalah aku’. Akupun berkata,’ aku adalah Engaungkau adalah aku, dan aku adalah Engkau.”[32]
           Abu Yazid mengucapkan kata” Aku” bukan lagi sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, melainkan sebagai gambaran Tuhan karena ia telah bersatu dengan diri Tuhan.
           Akan tetapi, pengalaman spiritualbersatu dengan Tuhan  bukan hanya dengan Ittihad, seperti yang dialami oleh Abu Yazid, melainkan adapula pengalaman spiritual lain seperti al-hulul yang dialami oleh Al-Hallaj, ataukah wahdat al-wujud yang dialami oleh Ibn Arabi.[33]

b). Ahwal yang dijumpai dalam perjalanan para sufi
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain:
1.      Muraqabah
Mengenai Muraqabah ini, Nabi Saw. Bersabda” Beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau meliha-Nya, dan jika kau tidak melihat-Nya maka yakinlah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.”(H.R. Muslim).
Adapun yang dimaksud dengan muraqabah bagi seorang  hamba adalah pengetahuan dan keyakinan bahwa Allah Swt. Selalu melihat apa ada didalam hati nuraninyadn maha mengetahui. Dalam kondisi yang demikian, ia terus meneliti dan mengoreksi bersitan-bersitan hati atau pikiran-pikiran tercela yang hanya akan menyibukkan hati seorang hamba sehingga lupa untuk mengingat Tuhannya.[34]
Orang-orang yang muraqabah dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yakni: Pertama, Orang yang selalu menjaga hatinya, sebab Allah Swt. Selalu melihat hati nurani  seorang hamba-Nya. Tingkatan ini disebut tingkatan kondisi spiritual para pemula dalam muraqabah.
Kedua, Orang-orang yang selalu muraqabah kepada Al-Haq dalam kefanaan apapun yang selain Al-Haq dan mengikuti sang nabi pilihan Saw. Dalam segala perbuatan, akhlak, dan adap beliau.[35]

Ketiga, tingkatan orang-orang besar. Mereka selalu muraqabah kepada Allah Swt. Dan memohon ampun  kepada-Nyaagar Dia senantiasa memelihara mereka untuk selalu bisa ber-muraqabah[36]

2.      Qurbah (kedekatan)
Kondisi spiritual qurbah (kedekatan) bagi seorang hamba adalah menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah Swt. Dengannya sehingga ia akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya dengan seluruh ketaatan dan perhatiannya yang sealu terpusatkan di hadapan Allah dengan selalu mengingat-Nya dalam segala kondisi, baik secara lahiriah maupun secara batiniah rahasia hati.[37]



3.      Mahabbah ( Cinta)
Kondisi spiritual (hal) Mahabbah bagi seorang hamba adalah melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya dan dengan hati nuraninya. Ia melihat kedekatan Allah dengannya, segala perlindungan, penjagaan, perhatian, yang dilimpahkan kepadanya. Dengan keimanan dan hakikat keyakinannya, ia melihat perlindungan (inayah), petunjuk (inayah), dan cintanya tercurahkan kepadanya, yang seluruhnya sudah ditetapkan sejak zaman azali. Oleh karena itu, ia mencintai Allah Azza wa jalla.[38]
Orang yang dapat memiliki kondisi spiritual mahabbah dibedakan menjadi tiga tingkatan yakni: Pertama, Mahabbah bisa muncul karena kebaikan Allah kepada seorang hambanya. Cinta atau mahabbah ini diperoleh seorang hamba karena ketulusannya dalam merindukan sang kekasih seiring dengan mengingat asma-Nya secara terus menerus. Sebab, siapa yang mencintai sesuatu, ia sering menyebutnya.
Kedua, mahabbah shadiqin, yaitu membersit karena pengenalan yang mendalam atas kebesaran Allah. Cinta yang bersemi karena mata hatinya memandang kebesaran,ilmu,dan kekuasaan Allah. Cinta yang dapat mengungkap tabir yang memisahkan dirinya dengan tuhan dan mampu menguak rahasia Tuhan yang tersembunyi. Kondisi spiritual yang seperti ini adalah cintanya orang-orang yang jujur (Ash-shadiqin)
Ketiga, Mahabbah ‘arifin, yakni cinta hamba-hamba Allah yang mengenal-Nya dengan baik. Dalam cinta yang seperti ini, yang dilihat bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[39]




4.      Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf’)
Bagi khalangan kaum sufi, Raja’ dan Khauf berjalan seimbang saling beriringan dan saling mempengaruhi. Raja’ berarti berharap atau Optimisme , yakni perasaan senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Karena Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa”  Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yang hijrh dan berjihad dijalan Allah, maka mereka itulah orang – orang yang mengharap rahmat Allah, dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 218)
              Orang yang harapan dan penantiannya menjadikannya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari maksiat, berarti harapannya tersebut benar. Sebaliknya jika hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, maka harapannya itu adalah sia-sia.[40]
        Raja’ menuntut tiga perkara yakni:
1.      Cinta kepada apa yang diharapkannya.
2.      Takut harapannya itu hilang.
3.      Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak diberangi tiga perkara diatas, maka ia hanyalah termasuk ilusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut(Khauf). Orang yang bercita-cita untuk sampai kepada suatu tempat tepat pada waktunya, tentunya ia takut terlambat sehingga ia mempercepat jalan atau laju kendaraannya. Begitupula dengan orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya, mereka dapat dekat kepada Allah. Khauf merupakan kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa dirinya dimasa yang akan datang (Akhirat) sehingga khauf dapat mencegah hamaba dalam berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan Raja’ saling berhubungan . Kekurangan khauf  akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menyebabkan putus asa dan pesimis.[41]Begitu juga sebaliknya, sikap Raja yang sangat berlebihan akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena rasa optimismenya yang sangat berlebihan.

5.      Syauq (Kerinduan)
Selama masih ada cinta, Syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur yakni rindu ingin segera bertemu dengan tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya daripada maut. Bagi kaum sufi yang rindu kepada Tuhan, mati berarti dapat bertemu dengan Tuhan, sedangkan hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan ma’budnya.[42]

6.      Uns (Suka Cita)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat Uns (Intim) adalah salah satu sifat yang merasa selalu berteman, tidak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat Uns, “Ada yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikiran kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau mrencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adpun engkau, selalu merasa berteman dimanapun engkau berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada pemeliharaan Allah. [43]

7.      Thuma’ninah (Ketenangan)
Yakni merasa tentram setelah bersama dengan Tuhan-Nya, kemudian merasakan ketergantungan terus-menerus dengn-Nya.[44]
8.      Musyahadah (Kehadiran hati)
Musyahadah adalah kehadiran yang berarti kedekatan yang diberangi dengan ilmu yakin dan hakikat-hakikatnya.[45]
9.      Yaqin (Keyakinan Sejati)
Keyakinan sejati ini tidak lain adalah Mukasyafah (Tersingkapnya apa yang ghaib) . Mukasyafah dapat dibedakan menjadi tiga macam.
a.       Mukasyafah Ayan (Tersingkapnya tutup mata), sehingga pada hari kiamat nanti ia akan melihat dengan mata kepalanya.
b.      Muqasyafatul Qulub (Tersingkapnya tutup hati), untuk memahami hakikat-hakikat keimanan secara langsung dengan yakin yang tidak bisa dibayangkan cara memperolehnya dan tidak bisa ditentukan.
c.       Mukasyaful ayat (Tersingkapnya tanda-tanda kebesaran-Nya) dengan ditampakkannya kekuasaan Allah kepada para Nabi dengan mu’jizat dan untuk selain para Nabi, dengan karamah (Kemuliaan) dan dikabulkannya doa.[46]

C.    Tokoh Sufi besar dan Pokok ajarannya
1.      Tasawuf Akhlaki
Secara Etimologis,tasawuf akhlaki ini bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, maka tingkah laku manusialah yang menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaki ini dapat dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia (Moralitas masyarakat). Dan supaya lebih mudah menempatkan posisi tasawuf  dalam kehidupan masyarakat, sehingga para pakar membentuk spesifikasi kajian tasawuf ini pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasari oleh sabda Nabi Muhammad Saw.
انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق(رؤاه احمد ؤالبيهقسي)
Artinya: “Sesungguhnya Aku (Muhammad) telah diutus(dengan tujuan) Untuk menyempurnakan akhlak.”

a.      Hasan Al-Basri
Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar adalah nama lengkap dari Hasan Al-Basri. Ia adalah seorang zahid yang amat masyhur dikalaan tabiin. Ia adalah Putera Zaid bin Tsabit, seorang budak yang tertangkap di maisan, yang kemudian menjadi sekertaris Nabi Muhammad Saw.[47]Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari kamis tanggal 10 Rajab tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khattab wafat dan dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan perang badar dan 300 sahabat lainnya.
Adapun pokok ajaran tasawuf Hasan Al-Basri menurut Hamka yakni[48]:
a.       Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan rasa perasaan takut.
b.      Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, maka ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun,barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, maka ia akan sengsara dan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c.       Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapapun sedikitnya.Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
d.      Dunia ini adalah janda tua yang telah membungkuk dan beberapa kali ditinggalkan dunia.
e.       Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
f.       Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya dan kiamat akan menagih janjinya.
g.      Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal shaleh.
Abu Na’im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Basri sebagai berikut,”Sahabat takut(khauf) dan pengharapan (Raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur tenang karena selalu mengingat Allahn .”pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sehingga sya’rani berkata “ Demikian takutnya sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu diciptakan untuk dirnya (Hasan Al-Basri).
b.      Al-Ghazali
Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-thusi Asy-syafi’i Al-Ghazali dan mendapat gelar “Hujjah Al-Islam”. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di kampung Gazlah, sebuah kota dikhurasan, iran.[49]Ayahnya seorang ahli tasawuf yang shaleh, meninggal dunia ketika Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad masih kecil. Namun sebelum meninggal ayahnya telah menitipkan kedua puteranya kepada seorang ahli tasawuf  untuk mendidik dan membimbingnya.[50]
Al-Ghazali menolak paham  hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah (Taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.[51] Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralits (Akhlak). Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah Swt. Makrifat menurut versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa,lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingatan (maqamat) dan keadaan (Ahwal).Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa yang sangat besar dalam duia islam, dimana di telah mempersatukan atau memadukan ketiga kubu keilmuan islam, yakni tasawuf, fiqhi,dan ilmu kalam, yang sebelumnya mengalami ketegangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa sehingga sampai kepada makrifat yang membantu mnciptakan kebahagiaan (sa’adah)
1.      pandangan Al-Ghazali tentang Makrifat
Makrifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[52] Alat untuk memperoleh makrifat bersandar pada sir, Qalb, dan dan ruh. Dalam kitab Ihya ‘Ulum Ad-Din, Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awam, Ulama dan arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si fulan ada di dalm rumah. Keyakinan orang awam dibangun atas dasar taklid (buta) dengan mengikuti perkataan orang lain bahwa si fulan ada di dalam rumah, kalau keyakinan Ulama, bahwa adanya sifulan karena ada tanda-tanda seperti ada suara yang terdengar, Walaupun orangnya tidak kelihatan. Sedangkan orang arif (sufi) tidak sekedar melihat tanda-tanda melalui suara yang ada di balik dinding, akan tetapi ia memasuki rumah itu dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa sifulan memang benar-benar ada di dalam rumah.[53]
2.      Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Menurut Beliau, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Dalam kitab kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa as-Sa’adah (Kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah, Nikmatnya telinga kalau ia mendengar suara yang merdu. Demikian pula dengan seluruh anggota badan. Semuanya memiliki kenikmatan tersendiri.[54]
Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada Qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia telah mati. Hal itu karena qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.[55]
2.      Tasawuf Irfani.
Disamping tasawuf akhlaki yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan dan perkataan yang benar, ada juga tasawuf irfani yang tingkatannya lebih tinggi lagi. Ini tidak membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. kita tidak ingin dipuji,atau jika dipujipun, tidak pernah berubah,dan bila dicaci maki pun tak pernah berubah, semuanya adalah semata-mata karena Allah Swt.
a.      Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan dekat kota bashrah (irak).dan wafat di kota itu pula pada tahun 185 H/801 M.[56]Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin dan karena ia merupakan putri keempat maka diberilah ia nama Rabi’ah . Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon ketika ia masih kecil, pada saat terjadinya perang dibashrah,ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atikdari suku Qais banu Adwah.[57]Dari sini, ia kemudian dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi kemudia dibebaskan karena tuannya melihat pancaran sinar yang menerangi seluruh ruangan rumah dikepalanya pada saat ia tengah melaksanakan ibadah.[58]
Rabi’ah Al-adawiyyah, tercatat dalam perkembangan mistisime islam sebagai peletk dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Cinta Rabi’ah kepada Allah sangat mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya sehingga membuatnya hadir bersama Allah. seperti yang terungkap dalam syairnya,
-Ketika bermunajat ,Rabi’ah kerap kali menyampaikan
“Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalm mencintai-Mu Hingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya tuhan, bintang dilangit telah gemerlapan maka telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci,dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku yang berada duhadirat-Mu.
-sewaktu fajar menyingsing,Rabi’ah berkata
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah menampakkan diri aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih. Demi kemahakuasaan-Mu,inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu,aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.[59]
b.      Abu Yazid Al-Butsami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Syurusan Al-Bustahi. Ia lahir di daerah Bustam(Pesia) tahun 874 – 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Syurusan yang menganut agama Zoroaster dan kemudian masuk pemeluk  islam di Bustam. Keluarga Abu Yasid termasuk orang kaya di daerahnyejak dalam kandungan ibunya, abu Yazid telah mempunyai kelebihan.karena sewaktu ia berada dalam kandungan ibunya ia akan meronta-ronta sampai ibunya muntah ketika ibunya memakan makanan yang kehalalannya masih meragukan.[60]
Ajaran pokok tasawuf beliau adalah fana’ (musnah) dan baqa’(tetap). Menurut Abu Bakar Al-Kalabadzi(w.378 H/988 M) fana’ adalah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang ,tidak ada pamrih dari segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar. dan ia telah menghilangkan semua kepentingannya ketika berbuat sesuatu.[61]. Ittihad adalah tahapan selanjutnya setelah fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihat soerang sufi telah merasa menyatu dengan Tuhannya. Dengan fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan menuju kehadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat dengan tuhan yang dibuktikan dengan syatahat (perkataan) ketika seorang sufi  sudah berada pada pintu gerbang  Ittihad. seperti yang diucapkanbeliau setelah shalat subuh.
انني انا ا لله لااله الاانا فعبدني
“ Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain aku. Maka sembahlah aku.”

Suatu ketika,seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu rumahnya, Abu Yazid berkata, “Siapa yang engkau cari?” kemudian orang itu menjawab, saya mencari seorang bernama “Abu Yazid,” Kemudian Abu Yazid pun berkata kepada orang tersebut, “pergilah, du rumah ini tidak ada Abu Yazid, yang ada hanyalah Allah yang Maha kuasa dan Maha tinggi.Ketika ucapan-ucapan Abu Yazid di atas didengar secara sepintas maka orang yang mendengarnya akan menilai bahwa Abu yazid telah kufur (syirik) karena mengatas namakan dirinya adalah Allah.  Oleh karena itu,dalam sejarah ada diantara mereka sufi yang dipenjara bahkan sampai dibunuh karena ucapannya yang membingungkan.[62]
c.       Abu Manshur Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil dipersia pada tahun 244 H/255 M. ia tumbuh dewasa dikota wasith,dekat bagdad. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya diperoleh dari memintal wol.[63].
Adapun jaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat tasawuf  hulul ini adalah berarti suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil asy-syuhud, yang kemudian melahirkan paham Wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan tuhan (hulul) . yang dalam istilah tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu terlebih dahulu dilenyapkan.[64]
Oleh karena itu, ucapan Al-Hallaj” Anaa al haqq” yang konon tidak bisa dimaafkan oleh para ulama fiqhi dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, sehingga hal ini yang dijadikan alasan untuk melakukan penangkapan kepada Al-hallaj dan memenarakannya. Namun, setahun kemudian ia mampu meloloskan diri dari penjara berkat pertolongan sopir penjara. Akan tetapi, ia kemudian kembali ditangkap di kota Sus.
setelah dipenjara selama delapan tahun,Al-Hallaj dihukum gantung.sebelum digantung,ia dicambuk seribu kali,tetapi tidak mengaduh kesakitan,lalu kepalanya dipenggal.sebelum dipenggal,ia meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat.setelah shalat,kaki dan tangannya dipotong,badannya digulung dalam tikar bambu,lalu dibakar dan abunya dibuang kesungai,sedangkan kepalanya dibawa ke khurasan untuk pertontonkan.Akhirnya,Al-Hallaj wafat pada tahun 992 M.
Menurut Al-Hallaj, Pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah merupakan kehendak Tuhan, demikian pula dengan tindakannya, Namun dilain waktu, Al-Hallaj mengatakan,“Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya.”[65] Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya adalah Tuhan dan tidak sama dengan Tuhan, seperti yang ada dalam syairnya,
انا سراحق انا       بل اناحق ففرق بيننا

“Aku adalah rahasia yang Maha benar dan
bukanlah yang Maha benar itu aku.
Aku hanya satu dari yang benar
maka bedakanlah diantara kami “[66]

Sehingga dapat ditarik sebuah benang merah bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamaba dan Tuhan . Dngan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekedar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan sepertidalam syairmya,” Air tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk”.
3.      Tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya.Berbeda dengan tasawuf akhlaki,tasawuf filsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya.Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya.


a.      Ibnu ‘arabi
Nama lengkap ibn ‘arabi adalah muhammad bin ‘ali bin Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami.ia lahir di Murcia,Andalusia Tenggara,Spanyol,tahun 560 H dan berasal dari keluarga berpangkat,hartawan, dan ilmuwan.Namanya biasa disebut tanpa ‘al’ untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn Al-‘Arabi,seorang qadhi dari seville yang wafat tahun 543 H.Di seville (Spanyol),ia mempelajari Al-Quran,Al-Hadits,dan fiqh pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal,yakni Ibn Hasm Azh-Zhahiri.[67]
Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatua wujud).meskipun demikian,istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu tidaklah berasal dari dia,tetapi berasal dari ibnu Taimiyah,tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut,atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam memopulerkan ketengah masyarakat islam,meskipun tujuaannya adalah negatif. Di samping itiu,meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn Arabi, mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdat al-wujud.
Menurut Ibn Taimiyah,wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam.Menurut penjelasannya,orang-orang yang mempuyai paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud ini sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mukmin al-wujud yang dimiliki oleh mahluk. Selain itu orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan,tidak ada perbedaan.[68] 
b.      Al-Jili
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 di Jilan ,sebuah provinsi disebelah selatan kasfia dan wafat pada tahun 1417M. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari bagdad. Ia pernah belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul kadir jailani seorang pemimpin dan pendiri tarekat Qadariah yng sangat terkenal.[69].
Ajaran tasawuf Al-jili yang terpenting Adalah pahan insan kamil (manusia sempurna).menurut Aljili insan kamil nuskhah atau copy tuhan, Aljili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin yang seseorang tidak akan dapat melihat bentuk darinya,kecuali dengan menggunakan cermin itu.
      menuruk Arberry,konsep insan kamil Al-jalil dekat dengan konsep hulul Al-hallaj dan  konsep ittihat Ibn’Arabi,yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari nur muhammad.Adapun Ibnu’arabi mentransfer konsep hulul Al-hallaj dalam paham ittihat  ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah,yang diputi oleh nur muhammad SAW.
Dengan demikan,dari sudut pandang manusia,tuhan merupakan cermin bagi manusia untuk melihat dirinya.dia tidak mungkin melihat dirinya tampa cerin itu.sebaliknya,karnah tuhan mengaharuskan dirinya agar sifat-sifat dan nama-namanya tidak dilaht,tuhan menciptakan insan kamil sebagai cerminan dirinya.Dari sini,tampak hubungan antara tuhan dan insan kamil.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut bahasa tasawuf berasal dari kata shuf   صاف - يصؤف – صؤفا Artinya mempuyai bulu yang banyak, Dalam  kaidah bahasa arab berari (menjadi) berbulu yang banyak, dengan arti sebenarnya adalah menjadi sufi yang ciri khas pakaiannya selalu terbuat dari bulu domba(Wol).
Secara Terminologi  dapat dipahami bahwa tasawuf adalah ilmu yang mempelajari suatu cara agar seseorang dapat dengan mudah berada dikhadirat Allah Swt. Gerakan ‘kejiwaan’ penuh dirasakan untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh suatu hakikat kontak hubungan yang mampu menelaah informasi dari tuhannya
Adapun maqamat dalam tasawuf adalaah (1)Taubat, (2)Zuhud, (3)sabar, (4)Tawakkal, (5)Rida, (6)Mahabbah, (7)makrifat. sedangkan Ahwalnya yakni (1)Muraqin.
Adapun tokoh sufi besar dalam tasafuf yakni :
1.Tasawuf Akhlaki
a. Hasan Al-Basri (Raja’ dan khauf )
b. Al-Ghazali (Makrifat)
                        2. Tasawuf Irfani
                                    a. Rabi’ah Al-Adawiyah (Mahabbah)
                                    b.  Abu Yazid Al-Butsami (Fana’ dan Baqa’)
                                    c. Abu Mansur Al-Hallaj (Hulul dan wahdat asy-syuhud)
3. Tasawuf  falsafi
            a. Ibnu Arabi (Al-wahdat Al-wujud)
            b. Al-jili ( Insan Kamil)
B. Saran
       Pembaca juga bisa membaca referensi lain dari buku-buku atau sosial media terkait judul               makalah kami, sebagai tambahan pengetahuan dan perluasan wawasan pemabaca tentang                     tasawuf itu sendiri.

DAFTAR FUSTAKA
Abu Nashr As-Sarraj Ath-thusi. Al-Luma’. Kairo: Dar Kitab Al-Haditsah.1960.
Abd. Ar-RahmanAl-Badawi. Syahidat Asy-Syq Al-Ilahi Rabi’ah Al-Adawiyyah. Kuwait: Al-WalakatAl-Mathbu’ah.1978
Ali Sami’ An-Nsyar. Nasy’ah Al-Fikr Al-falsafah fi Al-Islam. Juz III. Mesir: Dar Al-Ma’rif. 1911.
Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum Ad-Din. Jilid IV.
Ahmad faridh. Tazkiyat An-nafs. Trans . Nabhani Idris. Bandung :Pustaka. 1998;
Asmaran As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1996.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jilid 5.
Fariduddin Al-Athtar. Warisan Para Auliya’. Bandung: Pustaka.1983.
H.A Mushofa. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2002.
Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam islam. Jakarta: Bulan bintang. 1973.
Iberahim Basuni, Nasy’ah At-Tashawuf Al-Islamy. Mesir: DarAl-Ma’rif. 1911.
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli. Ibn Tamiyah As-Ishlah Ad-Diniy. Damaskus: Dar . Al-Ma’rifah. 1397 H/1997 M
M. Syatori. Tasawuf. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Ushuluddin.1991. hlm. 2-5
R.A. Nicholson. Studies in Islamic Mystisime. Delhi, India: Idarah-I Adawiyat-I. 1981
T.J. De Boer. The History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publikatiaon Inc.t.t
Umar Faruq. Tarikh Al-fikr Al-‘Arabi ila Ayyami Ibn Kaldum. Beirut : Dar Al-Ilm li Al-Malayin. 1983.



[1]Lihat  H.A Mushofa. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2002. Hlm. 201.
[2] Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam islam. Jakarta: Bulan bintang. 1973. Hlm.57
[3] Ibid, hlm. 57.
[4] Iberahim Basuni, Nasy’ah At-Tashawuf Al-Islamy. Mesir: DarAl-Ma’rif. 1911. Hlm. 9
[5] Nasution, op. Cit.,
[6]  Ibid.
[7] Ibrahim basuni, op. Cit., hlm. 5

[8] M. Syatori. Tasawuf. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati Fakultas Ushuluddin.1991. hlm. 2-5
[9] Ibid.
[10] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jilid 5. hlm. 74
[11] Ali Sami’ An-Nsyar. Nasy’ah Al-Fikr Al-falsafah fi Al-Islam. Juz III. Mesir: Dar Al-Ma’rif. 1911. Hlm 105-139, dan  239.
[12] Lihat Jamal fakhri. “Tasawuf:Asal-usul,pengertian,Tujuan,Maqamat,dan Ahwal” Makalah yang disampaikan dalam seminar sejarah pemikiran dalam islam,Rabu,12 April 1995, Program Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah: Jakarta. 1995; hlm. 5-6.
[13] Abu Nashr As-Sarraj Ath-thusi. Al-Luma’. Kairo: Dar Kitab Al-Haditsah.1960. hlm.65
[14] Nashr. op. cit. hlm. 88-89
[15] Nasution. op. cit. hlm 67
[16] Lihat Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum Ad-Din. Jilid IV. hlm. 10-11
[17] Nasution. op. cit. hal. 67
[18] Anwar. op. cit. hlm. 74
[19] Nasution op. cit. hlm. 68
[20] Al-Ghazali. Op. cit. hlm. 58-59
[21] Fakri. Op. cit. hlm. 9
[22] Al-Ghazali. Op. cit. hlm. 322
[23] Ath-Thusi. Op. cit. hlm. 80
[24] Ahmad faridh. Tazkiyat An-nafs. Trans . Nabhani Idris. Bandung :Pustaka. 1998; Hlm.166
[25] Nasution. Op. cit. hlm. 70
[26] Ath-thusi. Op. cit. hlm. 86
[27] Ibid.
[28] Nasution. Op. cit. hlm. 75
[29] Ibid. hlm 79
[30] Ibid. hlm . 80
[31] Ibid. hlm. 83-85
[32] Ibid. hlm . 85.
[33] Ibid. hlm. 87 dan 92.
[34] Ath-Thusi. op. cit. hlm. 113.
[35] Ibid.
[36] Ibid. hlm 114.
[37] Ibid. hlm. 116
[38] Ibid. hlm. 119.
[39] Ibid. hlm. 121
[40] Faridh. op. cit. hlm. 171-173
[41] Faridh. op. cit. hlm. 179.
[42] Suhrawardi. op.cit. hlm. 191.
[43] Umarie. op. cit. hlm. 85
[44] Nasution. op. cit. 94
[45] Ath-thusi. op.cit. hlm. 142.
[46] Ibid. hlm. 145.
[47] Asmaran As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1996. Hlm.257
[48] Ibid. hlm. 77-78
[49] T.J. De Boer. The History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publikatiaon Inc.t.t hlm. 155
[50] Umar Faruq. Tarikh Al-fikr Al-‘Arabi ila Ayyami Ibn Kaldum. Beirut : Dar Al-Ilm li Al-Malayin. 1983. Hlm 485
[51] Lihat Al-Ghazali. Ihya ‘Ulum Ad-Din. Kairo: Mustafa Bab Al-Halab.1334 Jilid III. Hlm. 350
[52] Harun Nasution. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1978. Hlm. 78.
[53] Al-Ghazali. Op. cit. jilid III. Hlm. 156
[54] Al-Ghazali. Kimiya As-Sa’adah, Bairut: Al-Maktabah Asy-Syi’biyah t.t. hlm. 130-132
[55] Ibid hlm. 130
[56] Lihat Farid As-Sin Al-Arthuthar. Muslim Saints dn Mystics. Terj. A.J Arberry, Routledega,dan kegan Paul. 1979. Hlm 39
[57] Abd. Ar-RahmanAl-Badawi. Syahidat Asy-Syq Al-Ilahi Rabi’ah Al-Adawiyyah. Kuwait: Al-WalakatAl-Mathbu’ah.1978.hlm. 13
[58] Al-Arthuthar. op.cit. hlm.42
[59] Ibrahim Basyuni. Nasy’at At-Tasawwuf. Mesir: Dar Al-Ma’rif. t.t hlm.190
[60] Fariduddin Al-Athtar. Warisan Para Auliya’. Bandung: Pustaka.1983. hlm 128-129
[61] Al-Kalabadzi.op.cit hlm. 147
[62] Nasution, op.cit. hlm. 56-57
[63] Ibid.
[64] Ibid. hlm  78
[65] At-Taftajani. op.cit. hlm. 125
[66] Nasution. op. cit. hlm. 91
[67] At-Tafthazani. op.cit. hlm. 201.
[68] Muhammad Mahdi Al-Istanbuli. Ibn Tamiyah As-Ishlah Ad-Diniy. Damaskus: Dar . Al-Ma’rifah. 1397 H/1997 M. hlm. 59
[69] R.A. Nicholson. Studies in Islamic Mystisime. Delhi, India: Idarah-I Adawiyat-I. 1981.hlm. 81